Skip to content
Home » Perbandingan Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 dengan Undang-Undang Penetapan Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023 pada Bidang Hukum Ketenagakerjaan dan Perseroan Terbatas

Perbandingan Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 dengan Undang-Undang Penetapan Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023 pada Bidang Hukum Ketenagakerjaan dan Perseroan Terbatas

  • by

Sebagaimana diketahui bersama, pada periode akhir tahun 2022, pemerintah Negara Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perpu Cipta Kerja”), yang pada pokoknya mengubah ketentuan beberapa bidang hukum yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja 11/2020”). Pada hakikatnya penerbitan Perpu sebagaimana dimaksud di atas dilakukan oleh pemerintah dengan alasan terdapat kebutuhan negara yang mendesak berdasarkan pertimbangan dari situasi perekonomian nasional. Oleh karenanya, agar Perpu tersebut memiliki kekuatan hukum yang mengikat sebagai regulasi tertinggi berdasarkan hierarkhi peraturan perundang-undangan, dalam hal ini Pemerintah telah menetapkan Perpu Cipta Kerja tersebut sebagai Undang-Undang sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“UU Ciptaker 6/2023”).

Perpu Cipta Kerja pada dasarnya memiliki peranan penting dalam mengatur berbagai kegiatan di masyarakat khususnya di lingkungan Perusahaan, mengingat kegiatan usaha suatu Perusahaan memiliki keterikatan terhadap beberapa aspek bidang lainnya, yang diantaranya yaitu meliputi aspek perdagangan, ketenagakerjaan, serta aspek-aspek lainnya di bidang perseroan. Meskipun pada dasarnya UU Ciptaker 6/2023 diterbitkan dengan maksud mengubah dan mencabut ketentuan dalam UU Ciptaker 11/2020, akan tetapi berdasarkan hasil penelusuran dan perbandingan antara UU Ciptaker 6/2023 dengan UU Ciptaker 11/2020, pada dasarnya UU Ciptaker 6/2023 tidak memberikan perubahan yang signifikan terhadap ketentuan yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020, khususnya pada bidang Ketenagakerjaan dan Perseroan Terbatas.

Untuk mempermudah perbandingan dan perbedaan antara UU Ciptaker 11/2020 dengan UU Ciptaker 6/2023, berikut merupakan tabel uraian perbandingan ketentuan mengenai Ketenagakerjaan dan Perseroan Terbatas yang diatur dalam kedua undang-undang tersebut.

Note :
Tabel yang berwarna biru muda, merupakan ketentuan atau pasal yang dicabut, diubah, dan/atau terdapat perbedaan antara ketentuan atau pasal yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 dengan UU Ciptaker 6/2023.

A. Uraian Perbadingan Ketentuan Ketenagakerjaan dalam UU Ciptaker 11/2020 dengan UU Ciptaker 6/2023

PASAL

UU CIPTAKERJA 11/2020

UU PENGESAHAN CIPTAKERJA 6/2023

KETERANGAN

13

(1) Pelatihan kerja diselenggarakan oleh :
a. Lembaga pelatihan kerja pemerintah;
b. Lembaga pelatihan kerja swasta; atau
c. Lembaga pelatihan kerja perusahaan.
(2) Pelatihan kerja dapat diselenggarakan di tempat pelatihan atau tempat kerja.
(3) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dalam menyelenggarakan pelatihan kerja dapat bekerja sama dengan swasta.
(4) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan lembaga pelatihan kerja perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c mendaftarkan kegiatannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota.

(1) Pelatihan kerja diselenggarakan oleh :
a. Lembaga pelatihan kerja pemerintah;
b. Lembaga pelatihan kerja swasta; atau
c. Lembaga pelatihan kerja perusahaan.
(2) Pelatihan kerja dapat diselenggarakan di tempat pelatihan atau tempat kerja.
(3) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dalam menyelenggarakan pelatihan kerja dapat bekerja sama dengan swasta.
(4) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan lembaga pelatihan kerja perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c mendaftarkan kegiatannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota.

Pada dasarnya, ketentuan mengenai pelatihan kerja yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 tidak diubah atau dihapus sebagian oleh UU Cipaker 6/2023.

14

(1) Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Bagi lembaga pelatihan kerja swasta yang terdapat penyertaan modal asing, Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

(1) Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Bagi lembaga pelatihan kerja swasta yang terdapat penyertaan modal asing, Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

UU Ciptaker 6/2023 tidak mengubah atau menghapus sebagian ketentuan mengenai penujukan Lembaga Pelatihan Kerja Swasta yang akan bekerja sama untuk memberikan Pelatihan Kerja kepada Karyawan Perusahaan.

37

(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) terdiri atas :
a. Instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan; dan
b. Lembaga penempatan tenaga kerja swasta.
(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dalam melaksanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi norma,standar,prosedur dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat

(1) Pelaksana penempatan Tenaga Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) terdiri atas :
a. instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan; dan
b. lembaga penempatan Tenaga Kerja swasta.
(2) Lembaga penempatan Tenaga Kerja swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dalam melaksanakan Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Sebagaimana diuraikan dalam UU Ketenagakerjaan 3/2003, dalam hal Perusahaan memerlukan tenaga kerja, pada dasarnya Perusahaan dapat melakukan rekrut sendiri atau mengambil tenaga kerja tersebut dapat pelaksana penempatan tenaga kerja. Akan tetapi, apabila Perusahaan bermaksud untuk mengambil tenaga kerja tersebut dari pelaksana penempatan tenaga kerja, dengan ini pelaksana penempatan tenaga kerja tersebut harus merupakan lembaga yang berwenang serta memiliki izin usaha khusus pada bidang pelayanan penempatan tenaga kerja.
Tidak ada ketentuan Pasal 37 Ketenagakerjaan pada UU Ciptaker 11/2020 yang diubah atau dihapus sebagian oleh UU Ciptaker 6/2023.

42

(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi:
a. Direksi atau komisaris dengan kepemilikan saham tertentu atau pemegang saham sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. Pegawai diplomatik dan konsuler pada kantor perwakilan negara asing; atau
c. Tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh Pemberi Kerja pada jenis kegiatan produksi yang terhenti karena keadaan darurat, vokasi, perusahaan rintisan (start-up), kunjungan bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu tertentu.
(4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki.
(5) Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia.
(6) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat(4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(1) Setiap Pemberi Kerja yang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing wajib memiliki rencana penggunaan Tenaga Kerja Asing yang disahkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Pemberi Kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi:
a. direksi atau komisaris dengan kepemilikan saham tertentu atau pemegang saham sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
b. pegawai diplomatik dan konsuler pada kantor perwakilan negara asing; atau
c. Tenaga Kerja Asing yang dibutuhkan oleh Pemberi Keda pada jenis kegiatan produksi yang terhenti karena keadaan darurat, vokasi, Perusahaan rintisan (start-upl berbasis teknologi, kunjungan bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu tertentu.
(4) Tenaga Kerja Asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam Hubungan Kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki.
(5) Tenaga Kerja Asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia.
(6) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pada dasarnya ketentuan Pasal 42 UU Ketenagakerjaan pada UU Ciptaker 11/2020 ataupun UU Ciptaker 6/2023 mengatur hal yang sama yaitu berkaitan dengan ketentuan memperkerjakan Tenaga Kerja Asing dalam suatu Perusahaan.

Adapun, ketentuan yang tercantum dalam UU Ciptaker 11/2020 dan UU Ciptaker 6/2023 pada pokoknya mewajibkan pemberi kerja untuk memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang dipekerjakan, dan rencana tenaga kerja asing tersebut wajib disahkan oleh Pemerintah Pusat.

Tidak ada ketentuan Pasal 42 Ketenagakerjaan pada UU Ciptaker 11/2020 yang diubah atau dihapus sebagian oleh UU Ciptaker 6/2023.

43

Menghapus ketentuan Pasal 43 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003, yang pada pokoknya mengatur mengenai prosedur mempekerjakan Tenaga Kerja Asing di Perusahaan.

Menghapus ketentuan Pasal 43 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003, yang pada pokoknya mengatur mengenai prosedur mempekerjakan Tenaga Kerja Asing di Perusahaan.

Tidak ada perbedaan antara ketentuan Ciptaker 11/2020 dengan Ciptaker 6/2023. Keduanya sama-sama menghapus pasal 43 UU Ketenagakerjaan 13/2003.

44

Menghapus ketentuan Pasal 44 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003, yang pada pokoknya mengatur mengenai kewajiban pemberi kerja untuk menaati jabatan dan standar kompetensi yang berlku dalam hal mempekerjakan tenaga kerja asing.

Menghapus ketentuan Pasal 44 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003, yang pada pokoknya mengatur mengenai kewajiban pemberi kerja untuk menaati jabatan dan standar kompetensi yang berlku dalam hal mempekerjakan tenaga kerja asing.

Tidak ada perbedaan antara ketentuan Ciptaker 11/2020 dengan Ciptaker 6/2023. Keduanya sama-sama menghapus pasal 44 UU Ketenagakerjaan 13/2003.

45

(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib :
a. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing;
b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja asing; dan
c. memulangkan tenaga kerja asing ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b tidak berlaku bagi tenaga kerja asing yang menduduki jabatan tertentu.

(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib :
a. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing;
b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja asing; dan
c. memulangkan tenaga kerja asing ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b tidak berlaku bagi tenaga kerja asing yang menduduki jabatan tertentu.

Pada dasarnya ketentuan Pasal 45 UU Ciptaker 11/2020 maupun UU Ciptaker 6/2023 mengatur hal yang sama, yaitu khususnya berkaitan dengan persyaratan dan prosedur pelaksanaan penunjukan tenaga kerja asing yang akan dipekerjakan.
Adapun, sesuai dengan ketentuan UU Ciptaker 11/2020 dan UU Ciptaker 6/2023, dalam menunjuk tenaga kerja asing untuk dipekerjakan, dalam hal ini Pemberi Kerja wajib untuk menunjuk WNI dalam memdapingi tenaga kerja asing yang dipekerjakan.
Tidak ada perbedaan antara Ketentuan Pasal 45 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 ataupun UU Ciptaker 6/2023.

46

Menghapus ketentuan Pasal 46 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003, yang pada pokoknya mengatur mengenai larangan Tenaga Kerja Asing dalam menduduki jabatan tertentu khususnya yang mengurus bidang Personalia pada Perusahaan.

Menghapus ketentuan Pasal 46 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003, yang pada pokoknya mengatur mengenai larangan Tenaga Kerja Asing dalam menduduki jabatan tertentu khususnya yang mengurus bidang Personalia pada Perusahaan.

Tidak ada perbedaan antara ketentuan UU Ciptaker 11/2020 dengan UU Ciptaker 6/2023. Keduanya sama-sama menghapus pasal 46 UU Ketenagakerjaan 13/2003.

47

(1) Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang dipekerjakannya.
(2) Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.

(1) Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang dipekerjakannya.
(2) Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.

Pada dasarnya, Pasal 47 pada UU Ciptaker 11/2020 dengan Pasal 47 UU Ciptaker 6/2023 mengatur mengenai ketentuan yang berkaitan dengan kewajiban Pemberi Kerja untuk memberikan kompensasi kepada tenaga kerja asing yang dipekerjakannya. Akan tetapi, ketentuan tersebut hanya berlaku untuk tenaga kerja asing yang bekerja di instansi dan perusahaan swasta atau perorangan.
Tidak ada perbedaan antara ketentuan Pasal 47 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 ataupun UU Ciptaker 6/2023.

48

Menghapus ketentuan Pasal 48 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003, yang pada pokoknya mengatur mengenai kewajiban memulangkan tenaga kerja asing ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir.

Menghapus ketentuan Pasal 48 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003, yang pada pokoknya mengatur mengenai kewajiban memulangkan tenaga kerja asing ke negara asalnya setelah hubungan kerjanya berakhir.

Tidak ada perbedaan antara ketentuan UU Ciptaker 11/2020 dengan UU Ciptaker 6/2023. Keduanya sama-sama menghapus pasal 48 UU Ketenagakerjaan 13/2003.

49

Menegaskan bahwa ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja asing akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Menegaskan bahwa ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja asing akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Pada dasarnya, Pasal 49 UU Ciptaker 11/2020 dengan Pasal 49 UU Ciptaker 6/2023 mengatur mengenai penegasan bahwa segala ketentuan yang berkaitan dengan penggunaan tenaga kerja asing akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, mengingat dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003, semula ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja asing tersebut diatur lebih lanjut dalam keputusan presiden.

Tidak ada perbedaan antara ketentuan Pasal 49 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 ataupun UU Ciptaker 2023.

56

(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas :
a. Jangka waktu; atau
b. Selesainya suatu pekerjaan tertentu.
(3) Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan perjanjian kerja.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian kerja waktu tertentu berdasarkan jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas :
a. Jangka waktu; atau
b. Selesainya suatu pekerjaan tertentu.
(3) Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan perjanjian kerja.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian kerja waktu tertentu berdasarkan jang`ka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pada dasarnya, Pasal 56 UU Ciptaker 11/2020 dengan Pasal 56 UU Ciptaker 6/2023 mengatur mengenai jenis hubungan kerja yang berlaku dan diakui oleh Peraturan Perundang-undangan. Adapun, sesuai dengan ketentuan Pasal 56 tersebut, dalam hal ini dapat diketahui bahwa jenis hubungan kerja yang berlaku dan diakui oleh Peraturan Perundang-undangan yaitu diantaranya PKWT dan PKWTT.
Tidak ada perbedaan antara ketentuan Pasal 56 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 ataupun UU Ciptaker 6/2023.

57

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin
(2) Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku perjanjian kerja waktu tertentu yang dibuat dalam bahasa Indonesia.

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin
(2) Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku perjanjian kerja waktu tertentu yang dibuat dalam bahasa Indonesia.

Pada dasarnya Pasal 57 UU Ciptaker 11/2020 dengan Pasal 56 UU Ciptaker 6/2023 mengatur mengenai ketentuan berkaitan persyaratan formiil pembuatan perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang wajib dibuat secara tertulis.
Tidak ada perbedaan antara ketentuan Pasal 57 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 ataupun UU Ciptaker 6/2023.

58

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.
(2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan tersebut batal demi hukum dan masa kerja tetap dihitung

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.
(2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan tersebut batal demi hukum dan masa kerja tetap dihitung.

Pasal 58 UU Ciptaker 11/2020 dan Pasal 58 UU Ciptaker 6/2023 pada pokoknya mengatur mengenai larangan adanya masa percobaan dalam hubungan kerja waktu tertentu.
Tidak ada perbedaan antara ketentuan Pasal 58 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 ataupun UU Ciptaker 6/2023.

59

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama;
c. Pekerjaan yang bersifat musiman;
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; atau
e. Pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama;
c. Pekerjaan yang bersifat musiman;
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; atau
e. Pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap
f. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Ketentuan Pasal 59 UU Ciptaker 11/2020 dan Pasal 59 UU Ciptaker 6/2023 pada pokoknya mengatur mengenai jenis pekerjaan yang dapat dilakukan dengan hubungan kerja waktu tertentu. Adapun, ketentuan Pasal 59 tersebut menegaskan, apabila Perusahaan tidak mengukuhkan hubungan kerja waktu tertentu dalam perjanjian tertulis, dalam hal ini hubungan kerja tersebut akan secara otomatis menjadi hubungan kerja waktu tidak tertentu.
Tidak ada perbedaan antara ketentuan Pasal 59 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 ataupun UU Ciptaker 6/2023.

61

(1) Perjanjian kerja berakhir apabila :
a. Pekerja/buruh meninggal dunia;
b. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c. Selesainya suatu pekerjaan tertentu;
d. Adanya putusan pengadilan dan/atauputusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
e. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
(2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.
(3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hakhak pekerja/buruh.
(4) Dalam hal pengusaha orang perseorangan meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh.
(5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh berhak mendapatkan hakhak sesuai dengan peraturan perundangundangan atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

(1) Perjanjian kerja berakhir apabila :
a. Pekerja/buruh meninggal dunia;
b. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c. Selesainya suatu pekerjaan tertentu;
d. Adanya putusan pengadilan dan/atauputusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
e. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
(2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.
(3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hakhak pekerja/buruh.
(4) Dalam hal pengusaha orang perseorangan meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh.
(5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh berhak mendapatkan hakhak sesuai dengan peraturan perundangundangan atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 61 UU Ciptaker 11/2020 dan Pasal 61 UU Ciptaker 6/2023 pada pokoknya mengatur mengenai hal-hal apa saja yang dapat menyebabkan hubungan kerja antara Karyawan dengan Perusahaan berakhir.
Tidak ada perbedaan antara ketentuan Pasal 61 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 dengan UU Ciptaker 6/2023.

61A

(1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf b dan huruf c, pengusaha wajib memberikan uang kompensasi kepada pekerja/buruh.
(2) Uang kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada pekerja/buruh sesuai dengan masa kerja pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai uang kompensasi diatur dengan Peraturan Pemerintah

(1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf b dan huruf c, pengusaha wajib memberikan uang kompensasi kepada pekerja/buruh.
(2) Uang kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada pekerja/buruh sesuai dengan masa kerja pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai uang kompensasi diatur dengan Peraturan Pemerintah

Ketentuan Pasal 61A dalam UU Ciptaker 11/2020 dan Pasal 61A dalam UU Ciptaker 6/2023 pada pokoknya mengatur mengenai kewajiban Perusahaan untuk membayarkan uang kompensasi kepada Karyawan dengan hubungan kerja waktu tertentu, pada saat masa kerja karyawan yang bersangkutan berakhir.
Tidak perbedaan antara ketentuan Pasal 61A yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 dengan Pasal 61A yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023.

64

Pasal 64 UU Ciptaker 11/2020 telah menghapus ketentuan yang tercantum dalam Pasal 64 UU Ketenagekerjaan, yang pada pokoknya mengatur hal sebagai berikut :
“Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis”

Akan tetapi, dalam UU Ciptaker 6/2023, ketentuan Pasal 64 UU Ketenagakerjaan 13/2003 tidak dihapus dan diubah menjadi sebagai berikut : (1) Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan lainnya melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis. (2) Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 64 UU Ciptaker 6/2023 kembali mengatur mengenai ketentuan pekerjaan alih daya, dengan ketentuan pelaksanaan pekerjaan yang akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

65

Menghapus ketentuan Pasal 65 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003, yang pada pokoknya mengatur mengenai pelaksanaan pekerjaan borongan berikut dengan jenis-jenis pekerjaan borongan.

Menghapus ketentuan Pasal 65 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003, yang pada pokoknya mengatur mengenai pelaksanaan pekerjaan borongan berikut dengan jenis-jenis pekerjaan borongan.

Tidak ada perbedaan antara ketentuan Pasal 65 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 dengan UU Ciptaker 6/2023. Keduanya sama-sama menghapus ketentuan Pasal 65 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003.

66

(1) Hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis baik perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
(2) Perlindungan pekerja/buruh, upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul dilaksanakan sekurangkurangnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya.
(3) Dalam hal perusahaan alih daya mempekerjakan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka perjanjian kerja tersebut harus mensyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya dan sepanjang objek pekerjaannya tetap ada.
(4) Perusahaan alih daya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berbentuk badan hukum dan wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
(5) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(1) Hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis baik perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
(2) Perlindungan pekerja/buruh, upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul dilaksanakan sekurangkurangnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya.
(3) Dalam hal perusahaan alih daya mempekerjakan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka perjanjian kerja tersebut harus mensyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya dan sepanjang objek pekerjaannya tetap ada.
(4) Perusahaan alih daya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berbentuk badan hukum dan wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
(5) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Ketentuan Pasal 66 UU Ciptaker 11/2020 dan Pasal 66 UU Ciptaker 6/2023 pada pokoknya mengatur hal mengenai pelaksanaan hubungan kerja alih daya, yang harus dilaksanakan dengan didasarkan pada perjanjian kerja secara tertulis. Selain itu, ketentuan Pasal 66 tersebut juga menegaskan perlindungan pekerja alih daya yang wajib diberikan oleh Perusahaan kepada pekerja yang bersangkutan.
Tidak perbedaan antara ketentuan Pasal 66 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 dengan Pasal 66 yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023.

67

Pada dasarnya UU Ciptaker 11/2020 tidak merubah ketentuan Pasal 67 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003, mengenai “Penyandang Cacat”.

Pasal 67 UU Ciptaker 6/2023 merubah ketentuan pada Pasal 67 UU Ketenagakerjaan mengenai “Penyandang Cacat” Adapun, hal-hal yang diubah dalam Pasal 67 UU Ciptaker yaitu sebagai berikut :
- Terminologi Penyandang Cacat,pada dasarnya telah diubah dengan terminologi “Penyandang Disabilitas
- Ketentuan Pasal 67 diubah menjadi sebagai berikut :
1) Pengusaha yang mempekerjakan Tenaga Kerja penyandang disabilitas wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kedisabilitasan.
2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 67 UU Ciptaker 6/2023 pada pokoknya telah mengubah ketentuan Penyandang Disabilitas yang tercantum dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003, khususnya mengenai termonologi yang semula disebut dengan “Penyandang Cacat”, menjadi “Penyandang Disabilitas” Meskipun demikian, ketentuan Penyandang Cacat dan Penyandang Disabilitas dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003 dengan UU Ciptaker 6/2023 memberikan proteksi lebih kepada para penyandang cacat atau penyandang disabilitas tersebut, yang keduanya diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

77

(1) Setiap Pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.
(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4) Pelaksanaan jam kerja bagi pekerja/buruh di perusahaan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah

(1) Setiap Pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.
(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Ketentuan waktu keda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu
(4) Pelaksanaan jam kerja bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Ketentuan Pasal 77 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 dan UU Ciptaker 6/2023 pada pokoknya mengatur mengenai ketentuan Waktu Kerja yang harus diterapkan dan dipatuhi oleh Perusahaan kepada seluruh Pekerjanya.
Tidak terdapat perbedaan ketentuan Waktu Kerja yang diatur dalam Pasal 7 UU Ciptaker 11/2020 dengan Pasal 7 UU Ciptaker 6/2023.

78

(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling lama 4 (empat) jam dalam 1 (satu) hari dan 18 (delapan belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.
(3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling lama 4 (empat) jam dalam 1 (satu) hari dan 18 (delapan belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.
(3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Ketentuan Pasal 78 UU Ciptaker 11/2020 dengan UU Ciptaker 6/2023 pada pokoknya mengatur mengenai ketentuan kerja lembur yang wajib dipatuhi oleh Perusahaan. Diantaranya yaitu, kerja lembur yang harus didasarkan pada persetujuan antara perusahaan dengan Karyawan, dan kerja lembur yang dilaksanakan dengan batas maksimal 4 (empat jam) dalam satu hari.
Perusahaan memiliki kewajiban untuk membayar hak-hak pekerja yang melaksanakan kerja lembur.
Tidak terdapat perubahan ketentuan mengenai kerja lembur yang diatur dalam Pasal 78 UU Ciptaker 11/2020 dengan Pasal 78 UU Ciptaker 6/2023.

79

(1) Pengusaha wajib memberi:
a. waktu istirahat; dan
b. cuti
(2) Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi :
a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) harikerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.
(4) Pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5) Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

(1) Pengusaha wajib memberi:
a. waktu istirahat; dan
b. cuti
(2) Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi :
a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) harikerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.
(4) Pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5) Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Ketentuan Pasal 79 dalam UU Ciptaker 11/2020 dan UU Ciptaker 6/2023 pada pokoknya mengatur mengenai hak waktu istirahat dan cuti yang wajib diberikan oleh Perusahaan sebagai bagian dari hak yang diperoleh Karyawan.

Selain ketentuan waktu istirahat dan cuti tahunan, Pasal 79 pada dasarnya juga mengatur mengenai ketentuan istirahat panjang yang dapat diberikan oleh perusahaan tertentu kepada Karyawan.

Pasal 79 dalam UU Ciptaker 11/2020 tidak mengatur lebih lanjut mengenai perusahaan tertentu yang dapat memberikan istirahat panjang kepada Karyawan. Adapun, dalam Pasal 79 UU Ciptaker 6/2023 menegaskan bahwa perusahaan tertentu yang dapat memberikan istirahat panjang kepada Karyawan akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

84

Pasal 84 UU Ciptaker 11/2020 tidak mengubah atau menghapus ketentuan Pasal 84 UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang pada pokoknya mengatur mengenai hak Karyawan untuk mendapat upah penuh pada saat melaksanakan Cuti Tahunan.

Setiap Pekerja/Buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat 2 huruf b, ayat 3, ayat 5 Pasal 80 dan Pasal 82 berhak mendapat Upah Penuh.

Pasal 84 UU Ciptaker 6/2023 menegaskan kembali ketentuan yang tercantum dalam Pasal 84 UU Ketenagakerjaan 13/2003.

88

(1) Setiap pekerja/buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
(2) Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
(3) Kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. upah minimum;
b. struktur dan skala upah;
c. upah kerja lembur
d. upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu;
e. bentuk dan cara pembayaran upah;
f. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan
g. upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(1) Setiap pekerja/buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
(2) Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
(3) Kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. upah minimum;
b. struktur dan skala upah;
c. upah kerja lembur
d. upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu;
e. bentuk dan cara pembayaran upah;
f. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan
g. upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dengan Peraturan Pemerintah

Pasal 88 UU Ciptaker 11/2020 dan Pasal 88 UU Ciptaker 6/2023 pada dasarnya mengatur mengenai kewajiban Perusahaan untuk menjamin upah yang layak bagi Pekerja.

Tidak terdapat perbedaan antara ketentuan Pasal 88 yang diatur dalam Ciptaker 11/2020 dengan ketentuan Pasal 88 yang diatur dalam Ciptaker 6/2023.

88A

(1) Hak pekerja/buruh atas upah timbul pada saat terjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha dan berakhir pada saat putusnya hubungan kerja. (2) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya.
(3) Pengusaha wajib membayar upah kepada pekerja/buruh sesuai dengan kesepakatan.
(4) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan
(5) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum dan pengaturan pengupahan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

(1) Hak pekerja/buruh atas upah timbul pada saat terjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha dan berakhir pada saat putusnya hubungan kerja. (2) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya.
(3) Pengusaha wajib membayar upah kepada pekerja/buruh sesuai dengan kesepakatan.
(4) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan
(5) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum dan pengaturan pengupahan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran Upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari Upah Pekerja/Buruh. (7) Pekerja/Buruh yang melakukan pelanggaran karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda
(8) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada Pengusaha dan/atau Pekerja/Buruh dalam pembayaran Upah.

Pasal 88A UU Ciptaker menambahkan beberapa ketentuan mengenai kewajiban pembayaran upah oleh Perusahaan kepada pekerja. Adapun, ketentuan yang diubah tersebut pada pokoknya yaitu mengatur bahwa apabila pengusaha terlambat membayar upah kepada Karyawan, Perusahaan akan dikenakan denda yang ketentuannya akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

88B

(1) Upah ditetapkan berdasarkan :
a. satuan waktu; dan/atau
b. satuan hasil
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

(1) Upah ditetapkan berdasarkan :
a. satuan waktu; dan/atau
b. satuan hasil
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 88B UU Ciptaker 11/2020 dan Pasal 88B UU Ciptaker 6/2023 pada pokoknya mengatur mengenai penetapan besaran upah yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Tidak ada perbedaan antara ketentuan Pasal 88B yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 dengan Pasal 88B yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023.

88C

(1) Gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi.
(2) Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.
(3) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat dan ayat (2) ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. (4) Syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pertumbuhan ekonomi daerah dan inflasi pada kabupaten/kota yang bersangkutan.
(5) Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) haruslebih tinggi dari upah minimum provinsi.
(6) Kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(1) Gubernur wajib menetapkan Upah minimum provinsi.
(2) Gubernur dapat menetapkan Upah minimum kabupaten/kota. (3) Penetapan Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam hal hasil penghitungan Upah minimum kabupaten/kota lebih tinggi dari Upah minimum provinsi.
(4) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan Ketenagakerjaan
(5) Kondisi ekonomi dan Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (41 menggunakan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik
(6) Dalam hal kabupaten/kota belum memiliki Upah minimum dan akan menetapkan Upah minimum, penetapan Upah minimum harus memenuhi syarat tertentu.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (41 dan syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pada dasarnya Pasal 88C UU Ciptaker 11/2020 dan Pasal 88C UU Ciptaker 6/2023 mengatur mengenai penetapan upah minimum provinsi. Akan tetapi, diantara keduanya terdapat perbedaan sebagai berikut : - Pasal 88C ayat 3 UU Ciptaker 6/2023 menambahkan ketentuan yang pada pokoknya penetapan upah minimum akan dilakukan apabila hasil penghitungan Upah Minimum kabupaten/kota lebih tinggi dari Upah Minimum provinsi. - Selain itu, Pasal 88C UU Ciptaker 6/2023 menghapus ketentuan mengenai penetapan upah minimum tersebut ditinjau dari pertumbuhan ekonomi dan inflasi dalam suatu daerah, yang kemudian hal tersebut diatur dalam Pasal 88 D Ciptaker 6/2023.

88D

(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) dihitung dengan menggunakan formula perhitungan upah minimum.
(2) Formula perhitungan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai formula perhitungan upah minimum diatur dengan Peraturan Pemerintah

(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) dihitung dengan menggunakan formula perhitungan upah minimum.
(2) Formula perhitungan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai formula perhitungan upah minimum diatur dengan Peraturan Pemerintah

Ketentuan Pasal 88 D UU Ciptaker 11/202 dengan UU Ciptaker 6/2023 pada pokoknya mengatur mengenai formulasi penetapan upah minimum yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Tidak terdapat perbedaan antara ketentuan formulasi penetapan upah minimum yang diatur dalam Pasal 88D UU Ciptaker 11/2020 dengan Pasal 88D UU Ciptaker 6/2023.

88E

(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun pada perusahaan yang bersangkutan.
(2) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum.

(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun pada perusahaan yang bersangkutan.
(2) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum.

Ketentuan Pasal 88 E UU Ciptaker 11/2020 dan UU Ciptaker 6/2023 pada pokoknya mengatur mengenai aturan penetapan Upah Minimum yang berlaku untuk seluruh Pekerja/Buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (Satu) tahun atau lebih pada Perusahaan yang bersangkutan.

Tidak terdapat perbedaan ketentuan yang diatur dalam Pasal 88E UU Ciptaker 11/2020 dengan Pasal 88E UU Ciptaker 6/2023.

88F

UU Ciptaker 11/2020 tidak menyisipkan ketentuan Pasal 88 F diantara Pasal 88 dengan Pasal 89.

Dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan Upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2)

Terdapat perbedaan yang pada pokoknya UU Ciptaker 6/2023 menyisipkan satu Pasal 88F mengenai kewenangan pemerintah untuk menetapkan formula upah minimun dalam suatu keadaan tertentu.

89

UU Ciptaker 11/2020 pada dasarnya menghapus ketentuan yang tercantum dalam Pasal 89 UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang pada pokoknya mengatur mengenai jenis upah minimum yang terdiri dari :
- Upah minimum berdasarkan wilayah provinsi;
- Upah Minimum berdasarkan sektor pekerjaan.

UU Ciptaker 6/2023 pada dasarnya menghapus ketentuan yang tercantum dalam Pasal 89 UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang pada pokoknya mengatur mengenai jenis upah minimum yang terdiri dari :
- Upah minimum berdasarkan wilayah provinsi;
- Upah Minimum berdasarkan sektor pekerjaan.

Tidak terdapat perbedaan antara ketentuan yang tercantum dalam Pasal 89 UU Ciptaker 11/2020 dengan Pasal UU 89 UU Ciptaker 6/2023. Keduanya sama-sama menghapus ketentuan Pasal 89 UU Ketenagakerjaan 13/2003.

90

UU Ciptaker 11/2020 pada dasarnya menghapus ketentuan yang tercantum dalam Pasal 90 UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang pada pokoknya mengatur bahwa Perusahaan dilarang untuk membayar upah lebih rendah dari upah minimum, dan Perusahaan dapat melakukan penangguhan apabila tidak mampu membayar upah sesuai dengan upah minimum.

UU Ciptaker 11/2020 pada dasarnya menghapus ketentuan yang tercantum dalam Pasal 90 UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang pada pokoknya mengatur bahwa Perusahaan dilarang untuk membayar upah lebih rendah dari upah minimum, dan Perusahaan dapat melakukan penangguhan apabila tidak mampu membayar upah sesuai dengan upah minimum.

Tidak terdapat perbedaan antara ketentuan yang tercantum dalam Pasal 90 UU Ciptaker 11/2020 dengan Pasal UU 90 UU Ciptaker 6/2023. Keduanya sama-sama menghapus ketentuan Pasal 89 UU Ketenagakerjaan 13/2003.

90A

Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh di perusahaan

Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh di perusahaan

Pasal 90A UU Ciptaker 11/2020 dan Pasal 90A UU Ciptaker 6/2023 pada pokoknya mengatur bahwa Perusahaan dapat memberikan upah di atas upah minimum dengan besaran upah sesuai kesepakatan antara Perusahaan dengan Pekerja.

Tidak terdapat perbedaan ketentuan yang diatur dalam Pasal 90 A UU Ciptaker 11/2020 dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 90 A UU Ciptaker 6/2023.

90B

(1) Ketentuan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) dikecualikan bagi Usaha Mikro dan Kecil.
(2) Upah pada Usaha Mikro dan Kecil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh di perusahaan.
(3) Kesepakatan upah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya sebesar persentase tertentu dari rata-rata konsumsi masyarakat berdasarkan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah bagi Usaha Mikro dan Kecil diatur dengan Peraturan Pemerintah

(1) Ketentuan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) dikecualikan bagi Usaha Mikro dan Kecil.
(2) Upah pada Usaha Mikro dan Kecil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh di perusahaan.
(3) Kesepakatan upah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya sebesar persentase tertentu dari rata-rata konsumsi masyarakat berdasarkan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah bagi Usaha Mikro dan Kecil diatur dengan Peraturan Pemerintah

Pasal 90B UU Ciptaker 11/2020 dan Pasal 90B UU Ciptaker 6/2023 pada pokoknya mengatur mengenai pengecualian penerapan upah minimum bagi pelaku Usaha Mikro dan Kecil, yang kemudian besaran upahnya akan ditetapkan berdasarkan persentase tertetu dari rata-rata konsumsi masyarakat sesuai data pada lembaga yang berwenang di bidang statistik.

Tidak terdapat perbedaan ketentuan yang diatur dalam Pasal 90 B UU Ciptaker 11/2020 dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 90 B UU Ciptaker 6/2023.

91

UU Ciptaker 11/2020 pada pokoknya menghapus ketentuan Pasal 91 yang tercantum dalam UU Ketenagakerjaan 13/2023 yang mengatur mengenai pengaturan pembayaran upah didasarkan pada kesepatan antara pengusaha dengan pekerja.

UU Ciptaker 6/2023 pada pokoknya menghapus ketentuan Pasal 91 yang tercantum dalam UU Ketenagakerjaan 13/2023 yang mengatur mengenai pengaturan pembayaran upah didasarkan pada kesepatan antara pengusaha dengan pekerja.

Tidak terdapat perbedaan antara ketentuan yang tercantum dalam Pasal 91 UU Ciptaker 11/2020 dengan Pasal UU 91 UU Ciptaker 6/2023. Keduanya sama-sama menghapus ketentuan Pasal 89 UU Ketenagakerjaan 13/2003.

92

(1) Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.
(2) Struktur dan skala upah digunakan sebagai pedoman pengusaha dalam menetapkan upah
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur dan skala upah diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(1) Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.
(2) Struktur dan skala upah digunakan sebagai pedoman pengusaha dalam menetapkan upah bagi Pekerja/Buruh yang memiliki masa kerja 1 (satu) tahun/atau lebih.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur dan skala upah diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pada dasarnya Pasal 92 UU Ciptaker 11/2020 dengan Pasal 92 UU Ciptaker 6/2023 mengatur mengenai hal yang sama berkaitan dengan kewajiban Perusahaan untuk menyusun struktur dan skala upah perusahaam untuk digunakan sebagai pedoman dalam menentukan upah karyawan.

Akan tetapi, Pasal 92 UU Ciptaker 6/2023 menegaskan kembali bahwa pedoman upah tersebut ditetapkan untuk menentukan upah pekerja yang telah memiliki masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih.

92A

Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.

Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas

Tidak terdapat perbedaan antara ketentuan Pasal 92 A yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 dengan Pasal 92 A yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023.

94

Dalam hal komponen upah terdiri atas upah pokok dan tunjangan tetap, besarnya upah pokok paling sedikit 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap.

Dalam hal komponen Upah terdiri atas Upah pokok dan tunjangan tetap, besarnya Upah pokok paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah Upah pokok dan tunjangan tetap.

Tidak terdapat perbedaan antara ketentuan Pasal 94 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 dengan Pasal 94 yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023.

95

(1) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, upah dan hak lainnya yang belum diterima oleh pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.
(2) Upah pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya sebelum pembayaran kepada semua kreditur.
(3) Hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan.

(1) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, upah dan hak lainnya yang belum diterima oleh pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.
(2) Upah pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya sebelum pembayaran kepada semua kreditur.
(3) Hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan.

Tidak terdapat perbedaan antara ketentuan Pasal 95 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 dengan Pasal 95 yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023.

96

UU Ciptaker 11/2020 pada dasarnya menghapus ketentuan yang tercantum dalam Pasal 96 UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang pada pokoknya mengatur mengenai daluwarsa tuntutan pembayaran upah atau hak lainnya yang timbul atas hubungan kerja.

UU Ciptaker 6/2023 pada dasarnya menghapus ketentuan yang tercantum dalam Pasal 96 UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang pada pokoknya mengatur mengenai kadaluwarsa tuntutan pembayaran upah atau hak lainnya yang timbul atas hubungan kerja.

Tidak terdapat perbedaan antara ketentuan Pasal 96 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 dengan Pasal 96 yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023. Keduanya sama-sama menghapus ketentuan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan 13/2003.

97

UU Ciptaker 11/2020 pada dasarnya menghapus ketentuan yang tercantum dalam Pasal 97 UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang pada pokoknya mengatur mengenai penegasan bahwa ketentuan kebijakan pengupahan akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

UU Ciptaker 6/2023 pada dasarnya menghapus ketentuan yang tercantum dalam Pasal 97 UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang pada pokoknya mengatur mengenai penegasan bahwa ketentuan kebijakan pengupahan akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Tidak terdapat perbedaan antara ketentuan Pasal 97 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 dengan Pasal 97 yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023. Keduanya sama-sama menghapus ketentuan Pasal 97 UU Ketenagakerjaan 13/2003.

98

(1) Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan
(2) Dewan pengupahan terdiri atas unsur Pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, pakar dan akademisi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, komposisi keanggotaan, tata cara pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan, serta tugas dan tata kerja dewan pengupahan, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(1) Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan
(2) Dewan pengupahan terdiri atas unsur Pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, pakar dan akademisi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, komposisi keanggotaan, tata cara pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan, serta tugas dan tata kerja dewan pengupahan, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Tidak terdapat perbedaan antara ketentuan Pasal 98 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 dengan Pasal 98 yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023.

151

(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, harus mengupayakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja;
(2) Dalam hal pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari maka maksud dan alasan pemutusan hubungan kerja diberitahukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh
(3) Dalam hal pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak pemutusan hubungan kerja maka penyelesaian pemutusan hubungan kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.
(4) Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan maka pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, harus mengupayakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja;
(2) Dalam hal pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari maka maksud dan alasan pemutusan hubungan kerja diberitahukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh
(3) Dalam hal pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak pemutusan hubungan kerja maka penyelesaian pemutusan hubungan kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.
(4) Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan maka pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Tidak terdapat perbedaan antara ketentuan Pasal 151 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 dengan Pasal 151 yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023.

151A

Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2) tidak perlu dilakukan oleh Pengusaha dalam hal:
a. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri;
b. pekerja/buruh dan pengusaha berakhir hubungan kerjanya sesuai perjanjian kerja waktu tertentu;
c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; atau pekerja/buruh meninggal dunia

Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2) tidak perlu dilakukan oleh Pengusaha dalam hal:
a. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri;
b. pekerja/buruh dan pengusaha berakhir hubungan kerjanya sesuai perjanjian kerja waktu tertentu;
c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; atau pekerja/buruh meninggal dunia

Tidak terdapat perbedaan antara ketentuan Pasal 151A yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 dengan Pasal 151A yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023.

152

UU Ciptaker 11/2020 menghapus ketentuan Pasal 152 UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang pada pokoknya mengatur mengenai permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja yang diajkukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian permasalahan hubungan Industrial.

UU Ciptaker 6/2023 menghapus ketentuan Pasal 152 UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang pada pokoknya mengatur mengenai permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja yang diajkukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian permasalahan hubungan Industrial.

Tidak terdapat perbedaan antara ketentuan Pasal 152 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 dengan Pasal 152 yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023. Keduanya sama-sama menghapus ketentuan Pasal 152 UU Ketenagakerjaan 13/2003.

153

(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh dengan alasan:
a. berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus- menerus;
b. berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. menikah;
e. hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya
f. mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan;
g. mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h. mengadukan pengusaha kepada pihak yang berwajib mengenai perbuatan pengusahayang melakukan tindak pidana kejahatan;
i. berbeda paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
(2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukandengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.

(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh dengan alasan:
a. berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus- menerus;
b. berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. menikah;
e. hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya
f. mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan;
g. mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h. mengadukan pengusaha kepada pihak yang berwajib mengenai perbuatan pengusahayang melakukan tindak pidana kejahatan;
i. berbeda paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
(2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukandengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.

Tidak terdapat perbedaan antara ketentuan Pasal 153 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 dengan Pasal 153 yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023.

154

UU Ciptaker 11/2020 menghapus ketentuan Pasal 154 UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang pada pokoknya mengatur mengenai hal-hal yang menyebabkan pemutusan hubungan kerja yang tidak perlu ada penetapan lembaga hubungan industrial.

UU Ciptaker 6/2023 menghapus ketentuan Pasal 154 UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang pada pokoknya mengatur mengenai hal-hal yang menyebabkan pemutusan hubungan kerja yang tidak perlu ada penetapan lembaga hubungan industrial.

Tidak terdapat perbedaan antara ketentuan Pasal 154 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 dengan Pasal 155 yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023. Keduanya sama-sama menghapus ketentuan Pasal 154 UU Ketenagakerjaan 13/2003.

154A

(1) Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan:

a. perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan;
b. perusahaan melakukan efisiensi;
c. perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian;
d. perusahaan tutup yang disebabkan karena keadaan memaksa (force majeur).
e. perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang;
f. perusahaan pailit;
g. perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh
h. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri;
i. pekerja/buruh mangkir;
j. pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
k. pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib; pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan;
l. pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atau
m. pekerja/buruh meninggal dunia.
(2) Selain alasan pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan alasan pemutusan hubungan kerja lainnya dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pemutusan hubungan kerja diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(1) Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan :

a. perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan;
b. perusahaan melakukan efisiensi;
c. perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian
d. Perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeur;
e. perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang;
f. Perusahaan Pailit;
g. adanya permohonan Pemutusan Hubungan Keda yang diajukan oleh Pekerja/Buruh dengan alasan Pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
1. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam Pekerja/ Buruh;
2. membujuk dan/atau menyuruh Pekerja/Buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan ;
3. tidak membayar Upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun Pengusaha membayar Upah secara tepat waktu sesudah itu;
4. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada Pekerja/ Buruh;
5. memerintahkan Pekerja/Buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
6. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan Pekerja/Buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada Perjanjian Kerja;
h. adanya putusan lembaga penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang menyatakan Pengusaha tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada huruf g terhadap permohonan yang diajukan oleh Pekerja/Buruh dan Pengusaha memutuskan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja;
i. Pekerja/Buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat :
1. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
2. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
3. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri;
j. Pekerja/Buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh Pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis;
k. Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama;
l. Pekerja/Buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana; m. Pekerja/Buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan;
n. Pekerja/Buruh memasuki usia pensiun; atau o. Pekerja/Buruh meninggal dunia
(2) Selain alasan pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan alasan pemutusan hubungan kerja lainnya dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pemutusan hubungan kerja diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pada dasarnya Pasal 154A UU Ciptaker 11/2020 dan Pasal 154A UU Ciptaker 6/2023 mengatur mengenai hal-hal yang dapat dijadikan alasan pemutusan hubungan kerja.

Akan tetapi, pasal 154 A UU Ciptaker 6/2023 memberikan ketentuan tambahan, khususnya mengenai rincian perbuatan pelanggaran Karyawan yang dapat secara langsung dilakukan pemutusan hubungan kerja.

155

UU Ciptaker 11/2020 menghapus ketentuan Pasal 155 UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang pada pokoknya mengatur mengenai akibat hukum apabila terjadi pemutusan hubungan kerja, yang dilakukan tanpa adanya penetapan dari lembaga hubungan industrial.

UU Ciptaker 11/2020 menghapus ketentuan Pasal 155 UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang pada pokoknya mengatur mengenai akibat hukum apabila terjadi pemutusan hubungan kerja, yang dilakukan tanpa adanya penetapan dari lembaga hubungan industrial.

Tidak ada perbedaan antara ketentuan Pasal 155 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 dengan ketentuan Pasal 155 yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023. Keduanya sama-sama menghapus ketentuan akibat hukum pemutusan hubungan kerja tanpa adanya penetapan lembaga hubungan industrial.

156

(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
(2) Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak sesuai ketentuan sebagai berikut:
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
(3) Uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak sesuai ketentuan sebagai berikut:
a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
d. masa kerja 12 (duabelas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan Upah;
g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun, atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan Upah;
h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan Upah.
(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1)meliputi:
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
c. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
(2) Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak sesuai ketentuan sebagai berikut:
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
(3) Uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak sesuai ketentuan sebagai berikut:
a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
d. masa kerja 12 (duabelas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan Upah;
g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun, atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan Upah;
h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan Upah.
(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1)meliputi:
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
c. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Tidak terdapat perbedaan antara ketentuan Pasal 156 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 dengan Pasal 156 yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023.

Keduanya mengatur mengenai besaran uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang berhak diperoleh Karyawan pada saat Perusahaan melaksanakan pemutusan hubungan kerja, yang didasarkan pada masa kerja yang telah diselesaikan oleh Karyawan yang bersangkutan.

157

(1) Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja, terdiri atas:
a. upah pokok;
b. tunjangan tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya.
(2) Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, upah sebulan sama dengan 30 (tiga puluh) dikali upah sehari.
(3) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, upah sebulan sama dengan penghasilan rata-rata dalam 12 (dua belas) bulan terakhir.
(4) Dalam hal upah sebulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) lebih rendah dari upah minimum maka upah yang menjadi dasar perhitungan pesangon adalah upah minimum yang berlaku di wilayah domisili perusahaan.

(1) Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja, terdiri atas:
a. upah pokok;
b. tunjangan tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya.
(2) Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, upah sebulan sama dengan 30 (tiga puluh) dikali upah sehari.
(3) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, upah sebulan sama dengan penghasilan rata-rata dalam 12 (dua belas) bulan terakhir.
(4) Dalam hal upah sebulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) lebih rendah dari upah minimum maka upah yang menjadi dasar perhitungan pesangon adalah upah minimum yang berlaku di wilayah domisili perusahaan.

Ketentuan Pasal 157 UU Ciptaker 11/2020 dengan Ketentuan Pasal 157 UU Ciptaker 6/2023 pada pokoknya mengatur mengenai dasar perhitungan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja yang berhak diperoleh Karyawan. Adapun, pada dasarnya uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja tersebut akan dihitung berdasarkan komponen upah yang terdiri dari Upah Pokok dan Tunjangan Tetap Karyawan.

Tidak ada perbedaan ketentuan Pasal 157 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 dengan Pasal 157 yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023.

157A

(1) Selama proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial, pengusaha dan pekerja/buruh harus tetap melaksanakan kewajibannya.
(2) Pengusaha dapat melakukan tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap membayar upah beserta hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
(3) Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai tingkatannya.

(1) Selama proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial, pengusaha dan pekerja/buruh harus tetap melaksanakan kewajibannya.
(2) Pengusaha dapat melakukan tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap membayar upah beserta hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
(3) Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai tingkatannya.

Tidak terdapat perbedaan antara ketentuan Pasal 157A yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 dengan Pasal 157A yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023.

158

Ketentuan Pasal 158 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 menghapus ketentuan Pasal 158 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003, yang pada pokoknya mengatur mengenai hal-hal apa saja yang dikategorikan sebagai kesalahan berat karyawan, yang dapat dijadikan sebagai dasar alasan pemutusan hubungan kerja karyawan secara langsung, tanpa adanya penetapan pengadilan.

Ketentuan Pasal 158 yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023 menghapus ketentuan Pasal 158 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003, yang pada pokoknya mengatur mengenai hal-hal apa saja yang dikategorikan sebagai kesalahan berat karyawan, yang dapat dijadikan sebagai dasar alasan pemutusan hubungan kerja karyawan secara langsung, tanpa adanya penetapan pengadilan.

Tidak terdapat perbedaan antara ketentuan Pasal 158 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 dengan Pasal 158 yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023. Keduanya sama-sama menghapus ketentuan Pasal 158 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003.

159

Ketentuan Pasal 159 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 menghapus ketentuan Pasal 159 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003, yang pada pokoknya mengatur hak pekerja/buruh untuk mengajukan gugatan ke lembaga perselisihan hubungan industrial apabila karyawan tidak memperoleh hak pesangon ataupun hak penghargaan masa kerja dengan perhitungan berdasarkan komponen upah gaji pokok dan tunjangan tetap.

Ketentuan Pasal 159 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 menghapus ketentuan Pasal 159 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003, yang pada pokoknya mengatur hak pekerja/buruh untuk mengajukan gugatan ke lembaga perselisihan hubungan industrial apabila karyawan tidak memperoleh hak pesangon ataupun hak penghargaan masa kerja dengan perhitungan berdasarkan komponen upah gaji pokok dan tunjangan tetap.

Tidak terdapat perbedaan antara ketentuan Pasal 159 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 dengan Pasal 159 yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023. Keduanya sama-sama menghapus ketentuan Pasal 159 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003.

160

(1) Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana maka pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk 1 (satu) orang tanggungan, 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah;
b. untuk 2 (dua) orang tanggungan, 35% (tiga puluh lima perseratus) dari upah;
c. untuk 3 (tiga) orang tanggungan, 45% (empat puluh lima perseratus) dari upah;
d. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih, 50% (lima puluh perseratus) dari upah.
(2) Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak bersalah, pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali.
(5) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan bersalah, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.

(1) Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana maka pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk 1 (satu) orang tanggungan, 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah;
b. untuk 2 (dua) orang tanggungan, 35% (tiga puluh lima perseratus) dari upah;
c. untuk 3 (tiga) orang tanggungan, 45% (empat puluh lima perseratus) dari upah;
d. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih, 50% (lima puluh perseratus) dari upah.
(2) Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak bersalah, pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali.
(5) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan bersalah, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.

Tidak terdapat perbedaan antara ketentuan Pasal 160 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 dengan Pasal 160 yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023. Keduanya memberikan kewajiban bagi Perusahaan untuk memberikan bantuan kepada keluagra Karyawan, apabila Karyawan yang bersangkutan ditahan oleh pihak yang berwajib akibat melakukan tindak pidana.

161

Pasal 161 UU Ciptaker 11/2020 menghapus ketentuan Pasal 161 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang pada pokoknya mengatur mengenai tahapan pemberian sanksi surat peringatan kepada Karyawan yang melakukan pelanggaran Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja, atau Perjanjian Kerja Bersama.

Pasal 161 UU Ciptaker 6/2023 menghapus ketentuan Pasal 161 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang pada pokoknya mengatur mengenai tahapan pemberian sanksi surat peringatan kepada Karyawan yang melakukan pelanggaran Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja, atau Perjanjian Kerja Bersama.

Tidak terdapat perbedaan antara ketentuan Pasal 161 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 ataupun Pasal 161 yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023. Keduanya sama-sama menghapus ketentuan Pasal 161 UU Ketenagakerjaan 13/2003.

162

Menghapus ketentuan Pasal 162 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang pada pokoknya mengatur mengenai tata cara pemutusan hubungan kerja dengan alasan karena pekerja mengajukan pengunduran diri.

Menghapus ketentuan Pasal 162 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang pada pokoknya mengatur mengenai tata cara pemutusan hubungan kerja dengan alasan karena pekerja mengajukan pengunduran diri.

Tidak terdapat perbedaan antara ketentuan Pasal 162 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 ataupun Pasal 162 yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023. Keduanya sama-sama menghapus ketentuan Pasal 162 UU Ketenagakerjaan 13/2003.

163

Menghapus ketentuan Pasal 163 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang pada pokoknya mengatur mengenai tata cara pemutusan hubungan kerja akibat Perusahaan mengalami penggabungan, peleburan atau perubahan kepemilikan.

Menghapus ketentuan Pasal 163 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang pada pokoknya mengatur mengenai tata cara pemutusan hubungan kerja akibat Perusahaan mengalami penggabungan, peleburan atau perubahan kepemilikan.

Tidak terdapat perbedaan antara ketentuan Pasal 163 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 ataupun Pasal 163 yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023. Keduanya sama-sama menghapus ketentuan Pasal 163 UU Ketenagakerjaan 13/2003.

164

Menghapus ketentuan Pasal 164 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang pada pokoknya mengatur mengenai tata cara pemutusan hubungan kerja akibat Perusahaan mengalami kerugian terus menerus.

Menghapus ketentuan Pasal 164 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang pada pokoknya mengatur mengenai tata cara pemutusan hubungan kerja akibat Perusahaan mengalami kerugian terus menerus.

Tidak terdapat perbedaan antara ketentuan Pasal 164 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 ataupun Pasal 164 yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023. Keduanya sama-sama menghapus ketentuan Pasal 164 UU Ketenagakerjaan 13/2003.

165

Menghapus ketentuan Pasal 165 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang pada pokoknya mengatur mengenai tata cara pemutusan hubungan kerja akibat Perusahaan mengalami kepailitan.

Menghapus ketentuan Pasal 165 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang pada pokoknya mengatur mengenai tata cara pemutusan hubungan kerja akibat Perusahaan mengalami kepailitan.

Tidak terdapat perbedaan antara ketentuan Pasal 165 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 ataupun Pasal 165 yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023. Keduanya sama-sama menghapus ketentuan Pasal 165 UU Ketenagakerjaan 13/2003.

166

Menghapus ketentuan Pasal 166 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang pada pokoknya mengatur mengenai berakhirnya hubungan kerja Karyawan yang disebabkan oleh Karyawan meninggal dunia.

Menghapus ketentuan Pasal 166 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang pada pokoknya mengatur mengenai berakhirnya hubungan kerja Karyawan yang disebabkan oleh Karyawan meninggal dunia.

Tidak terdapat perbedaan antara ketentuan Pasal 166 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 ataupun Pasal 166 yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023. Keduanya sama-sama menghapus ketentuan Pasal 166 UU Ketenagakerjaan 13/2003.

167

Menghapus ketentuan Pasal 167 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang pada pokoknya mengatur mengenai pemutusan hubungan kerja karena karyawan yang bersangkutan memasuki usia pensiun.

Menghapus ketentuan Pasal 167 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang pada pokoknya mengatur mengenai pemutusan hubunga kerja karena karyawan yang bersangkutan memasuki usia pensiun.

Tidak terdapat perbedaan antara ketentuan Pasal 167 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 ataupun Pasal 167 yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023. Keduanya sama-sama menghapus ketentuan Pasal 167 UU Ketenagakerjaan 13/2003.

168

Menghapus ketentuan Pasal 168 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang pada pokoknya mengatur mengenai pemutusan hubungan kerja akibat Karyawan yang bersangkutan telah mangkir selama 5 (lima) hari berturut-turut.

Menghapus ketentuan Pasal 168 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang pada pokoknya mengatur mengenai pemutusan hubungan kerja akibat Karyawan yang bersangkutan telah mangkir selama 5 (lima) hari berturut-turut.

Tidak terdapat perbedaan antara ketentuan Pasal 168 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 ataupun Pasal 168 yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023. Keduanya sama-sama menghapus ketentuan Pasal 168 UU Ketenagakerjaan 13/2003.

169

Menghapus ketentuan Pasal 169 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang pada pokoknya mengatur mengenai pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh Karyawan kepada lembaga hubungan industrial apabila Perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan Karyawan.

Menghapus ketentuan Pasal 169 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang pada pokoknya mengatur mengenai pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh Karyawan kepada lembaga hubungan industrial apabila Perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan Karyawan.

Tidak terdapat perbedaan antara ketentuan Pasal 169 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 ataupun Pasal 169 yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023. Keduanya sama-sama menghapus ketentuan Pasal 169 UU Ketenagakerjaan 13/2003.

170

Menghapus ketentuan Pasal 170 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003

Menghapus ketentuan Pasal 170 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003.

Tidak terdapat perbedaan antara ketentuan Pasal 170 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 ataupun Pasal 170 yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023. Keduanya sama-sama menghapus ketentuan Pasal 170 UU Ketenagakerjaan 13/2003.

171

Menghapus ketentuan Pasal 171 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003.

Menghapus ketentuan Pasal 171 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003.

Tidak terdapat perbedaan antara ketentuan Pasal 171 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 ataupun Pasal 171 yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023. Keduanya sama-sama menghapus ketentuan Pasal 171 UU Ketenagakerjaan 13/2003.

172

Menghapus ketentuan Pasal 172 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang pada pokoknya mengatur mengenai tata cara pemutusan hubungan kerja akibat karyawan mengalami sakit berkepanjangan setelah melampaui batas waktu 12 (dua belas) bulan.

Menghapus ketentuan Pasal 172 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003 yang pada pokoknya mengatur mengenai tata cara pemutusan hubungan kerja akibat karyawan mengalami sakit berkepanjangan setelah melampaui batas waktu 12 (dua belas) bulan.

Tidak terdapat perbedaan antara ketentuan Pasal 172 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 ataupun Pasal 172 yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023. Keduanya sama-sama menghapus ketentuan Pasal 172 UU Ketenagakerjaan 13/2003.

184

Menghapus ketentuan Pasal 184 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003.

Menghapus ketentuan Pasal 184 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003.

Tidak terdapat perbedaan antara ketentuan Pasal 184 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 ataupun Pasal 184 yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023. Keduanya sama-sama menghapus ketentuan Pasal 184 UU Ketenagakerjaan 13/2003.

185

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 88A ayat (3) Pasal 88E ayat (2), Pasal 143, Pasal 156 ayat (1), dan Pasal 160 ayat (4), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 88A ayat (3) Pasal 88E ayat (2), Pasal 143, Pasal 156 ayat (1), dan Pasal 160 ayat (4), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Tidak terdapat perbedaan ketentuan Pasal 185 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 dan UU Ciptaker 6/2023, yang pada pokoknya mengatur mengenai sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada Perusahaan apabila melanggar ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan ataupun perubahannya. Adapun, besaran sanksi pidana dan denda ditentukan sama.

186

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137, atau Pasal 138 ayat (1), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan tindak pidana pelanggaran.

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137, atau Pasal 138 ayat (1), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan tindak pidana pelanggaran.

Tidak terdapat perbedaan ketentuan Pasal 186 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 dan UU Ciptaker 6/2023, yang pada pokoknya mengatur mengenai sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada Perusahaan apabila melanggar ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan ataupun perubahannya. Adapun, besaran sanksi pidana dan denda ditentukan sama.

187

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1), ayat (2), atau ayat (3), Pasal 85 ayat (3), atau Pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1), ayat (2), atau ayat (3), Pasal 85 ayat (3), atau Pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.

Tidak terdapat perbedaan ketentuan Pasal 187 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 dan UU Ciptaker 6/2023, yang pada pokoknya mengatur mengenai sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada Perusahaan apabila melanggar ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan ataupun perubahannya. Adapun, besaran sanksi pidana dan denda ditentukan sama.

188

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114 atau Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan tindak pidana pelanggaran.

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114 atau Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan tindak pidana pelanggaran.

Tidak terdapat perbedaan ketentuan Pasal 188 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 dan UU Ciptaker 6/2023, yang pada pokoknya mengatur mengenai sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada Perusahaan apabila melanggar ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan ataupun perubahannya. Adapun, besaran sanksi pidana dan denda ditentukan sama.

190

(1) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal t4 ayat (1), Pasal 15, Pasal 25, Pasal 37 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 42 ayat (ll, Pasal 47 ayat (1), Pasal61A, Pasal 66 ayat (4), Pasal 87, Pasal 92, Pasal 106, Pasal 126 ayat (3), atau Pasal 160 ayat (1) atau ayat (21Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya 

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

(1) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran ketentuanketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal t4 ayat (1), Pasal 15, Pasal 25, Pasal 37 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 42 ayat (ll, Pasal 47 ayat (1), Pasal61A, Pasal 66 ayat (4), Pasal 87, Pasal 92, Pasal 106, Pasal 126 ayat (3), atau Pasal 160 ayat (1) atau ayat (21Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Tidak terdapat perbedaan ketentuan Pasal 190 yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 dan UU Ciptaker 6/2023, yang pada pokoknya mengatur mengenai kewenangan pemerintah pusat atau pemerintah daerah untuk menerapkan sanksi administratif apabila Perusahaan melanggar ketentuan-ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

191A

Pada saat berlakunya Undang-Undang ini:
a. Untuk pertama kali upah minimum yang berlaku yaitu upah minimum yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai pengupahan.
b. Bagi perusahaan yang telah memberikan upah lebih tinggi dari upah minimum yang ditetapkan sebelum Undang-Undang ini, pengusaha dilarang mengurangi atau menurunkan upah.

Pada saat berlakunya Undang-Undang ini:
a. Untuk pertama kali upah minimum yang berlaku yaitu upah minimum yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai pengupahan.
b. Bagi perusahaan yang telah memberikan upah lebih tinggi dari upah minimum yang ditetapkan sebelum Undang-Undang ini, pengusaha dilarang mengurangi atau menurunkan upah.

Tidak terdapat perbedaan anatra ketentuan Pasal 191A yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 dengan Pasal 191A yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023.

B. Uraian Perbandingan Ketentuan Perseroan Terbatas yang diatur dalam UU Cipta Kerja 11/2020 dengan UU Cipta Kerja 6/2023

PASAL

UU CIPTAKERJA 11/2020

UU PENGESAHAN CIPTAKERJA 6/2023

KETERANGAN

7

(1) Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam Bahasa Indonesia.
(2) Setiap pendiri Perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat Perseroan didirikan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam rangka Peleburan.
(4) Perseroan memperoleh status badan hukum setelah didaftarkan kepada Menteri dan mendapatkan bukti pendaftaran.
(5) Setelah Perseroan memperoleh status badan hukum dan pemegang saham menjadi kurang dari 2 (dua) orang, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak keadaan tersebut, pemegang saham yang bersangkutan wajib:
a. mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain; atau
b. Perseroan mengeluarkan saham baru kepada orang lain.
(6) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah dilampaui, pemegang saham tetap kurang dari 2 (dua) orang :
a. pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan dan kerugian Perseroan; dan
b. atas permohonan pihak yang berkepentingan, pengadilan negeri dapat membubarkan Perseroan tersebut.
(7) Ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (5), serta ayat (6) tidak berlaku bagi:
a. Persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara;
b. Badan Usaha Milik Daerah;
c. Badan Usaha Milik Desa;
d. Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lain sesuai dengan Undang-Undang tentang Pasar Modal; atau
e. Perseroan yang memenuhi kriteria untuk Usaha Mikro dan Kecil.
(8) Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (71 huruf e merupakan Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan mengenai Usaha Mikro dan Kecil.

(1) Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam Bahasa Indonesia.
(2) Setiap pendiri Perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat Perseroan didirikan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam rangka Peleburan.
(4) Perseroan memperoleh status badan hukum setelah didaftarkan kepada Menteri dan mendapatkan bukti pendaftaran.
(5) Setelah Perseroan memperoleh status badan hukum dan pemegang saham menjadi kurang dari 2 (dua) orang, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak keadaan tersebut, pemegang saham yang bersangkutan wajib:
a. mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain; atau
b. Perseroan mengeluarkan saham baru kepada orang lain.
(6) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah dilampaui, pemegang saham tetap kurang dari 2 (dua) orang :
a. pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan dan kerugian Perseroan; dan
b. atas permohonan pihak yang berkepentingan, pengadilan negeri dapat membubarkan Perseroan tersebut.
(7) Ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (5), serta ayat (6) tidak berlaku bagi:
a. Persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara;
b. Badan Usaha Milik Daerah;
c. Badan Usaha Milik Desa;
d. Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lain sesuai dengan Undang-Undang tentang Pasar Modal; atau
e. Perseroan yang memenuhi kriteria untuk Usaha Mikro dan Kecil.
(8) Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (71 huruf e merupakan Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan mengenai Usaha Mikro dan Kecil.

Tidak ada perbedaan antara ketentuan pendirian Perseroan yang diatur dalam Pasal 7 UU Ciptaker 11 2020 dengan UU Ciptaker 6/2023.

32

(1) Perseroan wajib memiliki modal dasar Perseroan.
(2) Besaran modal dasar Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan keputusan pendiri Perseroan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai modal dasar Perseroan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

(1) Perseroan wajib memiliki modal dasar Perseroan.
(2) Besaran modal dasar Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan keputusan pendiri Perseroan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai modal dasar Perseroan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Tidak terdapat perbedaaan antara ketentuan modal dasar perusahaan yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 dengan ketentuan modal dasar perusahaan yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023.

153A

(1) Perseroan yang memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil dapat didirikan oleh 1 (satu) orang.
(2) Pendirian Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan surat pernyataan pendirian yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

1) Perseroan yang memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil dapat didirikan oleh 1 (satu) orang.
(2) Pendirian Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan surat pernyataan pendirian yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Tidak terdapat perbedaan ketentuan mengenai pendirian usaha dengan kriteria mikro dan kecil yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 dengan ketentuan pendirian usaha dengan kriteria mikro dan kecil yang diatur dalam UU Ciptaker 6/2023.

153B

(1) Pernyataan pendirian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A ayat (2) memuat maksud dan tujuan, kegiatan usaha, modal dasar, dan keterangan lain berkaitan dengan pendirian Perseroan.
(2) Pernyataan pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftarkan secara elektronik kepada Menteri dengan mengisi format isian.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai materi pernyataan pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan format isian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

(1) Pernyataan pendirian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A ayat (2) memuat maksud dan tujuan, kegiatan usaha, modal dasar, dan keterangan lain berkaitan dengan pendirian Perseroan.
(2) Pernyataan pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftarkan secara elektronik kepada Menteri dengan mengisi format isian.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai materi pernyataan pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan format isian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

153C

(1) Perubahan pernyataan pendirian Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A ditetapkan oleh RUPS dan diberitahukan secara elektronik kepada Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai materi dan format isian perubahan pernyataan pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

(1) Perubahan pernyataan pendirian Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A ditetapkan oleh RUPS dan diberitahukan secara elektronik kepada Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai materi dan format isian perubahan pernyataan pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

153D

(1) Direksi Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A menjalankan pengurusan Perseroan untuk usaha mikro dan kecil bagi kepentingan Perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.
(2) Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dianggap tepat, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini, dan/ atau pernyataan pendirian Perseroan.

(1) Direksi Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A menjalankan pengurusan Perseroan untuk usaha mikro dan kecil bagi kepentingan Perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.
(2) Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dianggap tepat, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini, dan/ atau pernyataan pendirian Perseroan.

Tidak terdapat perbedaan ketentuan mengenai pengurus perusahaan, dan pemegang saham pada perusahaan dengan kategori usaha mikro dan kecil yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 dengan UU Ciptaker 6/2023.

153E

(1) Pemegang saham Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A merupakan orang perseorangan.
(2) Pendiri Perseroan hanya dapat mendirikan Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sejumlah 1 (satu) Perseroan untuk usaha mikro dan kecil dalam jangka waktu 1 (satu) tahun

(1) Pemegang saham Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A merupakan orang perseorangan.
(2) Pendiri Perseroan hanya dapat mendirikan Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sejumlah 1 (satu) Perseroan untuk usaha mikro dan kecil dalam jangka waktu 1 (satu) tahun.

153F

(1) Direksi Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A harus membuat laporan keuangan dalam rangka mewujudkan tata kelola Perseroan yang baik.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban membuat laporan keuangan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

(1) Direksi Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A harus membuat laporan keuangan dalam rangka mewujudkan tata kelola Perseroan yang baik.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban membuat laporan keuangan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

153G

(1) embubaran Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A dilakukan oleh RUPS yang dituangkan dalam pernyataan pembubaran dan diberitahukan secara elektronik kepada Menteri.
(2) Pembubaran Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena :
a. berdasarkan keputusan RUPS;
b. jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam pernyataan pendirian telah berakhir;
c. berdasarkan penetapan pengadilan;
d. dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
e. harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam ketentuan UndangUndang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau 
f. dicabutnya Perizinan Berusaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(1) Pembubaran Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A dilakukan oleh RUPS yang dituangkan dalam pernyataan pembubaran dan diberitahukan secara elektronik kepada Menteri.
(2) Pembubaran Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena :
a. berdasarkan keputusan RUPS;
b. jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam pernyataan pendirian telah berakhir;
c. berdasarkan penetapan pengadilan;
d. dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
e. harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam ketentuan UndangUndang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau
f. dicabutnya Perizinan Berusaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

153H

(1) Dalam hal Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sudah tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A ayat (1), Perseroan harus mengubah statusnya menjadi Perseroan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengubahan status Perseroan untuk usaha mikro dan kecil menjadi Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

(1) Dalam hal Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sudah tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A ayat (1), Perseroan harus mengubah statusnya menjadi Perseroan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengubahan status Perseroan untuk usaha mikro dan kecil menjadi Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Ketentuan kewajiban perusahaan mikro dan kecil untuk melakukan perubahan status perusahaan apabila sudah tidak memenuhi kriteria mikro dan kecil, diatur secara tegas baik dalam UU Ciptaker 11/2020 ataupun UU Ciptaker 6/2023. Tidak ada perbedaan ketentuan diantara kedua peraturan perundang-undangan tersebut.

153I

(1) Perseroan untuk usaha mikro dan kecil diberikan keringanan biaya terkait pendirian badan hukum.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai keringanan biaya Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak.

(1) Perseroan untuk usaha mikro dan kecil diberikan keringanan biaya terkait pendirian badan hukum.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai keringanan biaya Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak.

Tidak ada perbedaan ketentuan mengenai keringan perusahaan yang berhak diperoleh perusahaan mikro dan kecil dalam melaksanakan pendirian perusahaan, baik yang diatur dalam UU Ciptaker 11 2020 ataupun UU Ciptaker 6/2023.

153J

(1) Pemegang saham Perseroan untuk usaha mikro dan kecil tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila :
a. persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
b. pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung dengan iktikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi;
c. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau
d. pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.

(1) Pemegang saham Perseroan untuk usaha mikro dan kecil tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila :
a. persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
b. pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung dengan iktikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi;
c. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau
d. pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.

Tidak ada perbedaan ketentuan mengenai kewajiban pemegang saham dalam pertanggungjawaban kerugian pada Perusahaan mikro dan kecil yang diatur dalam UU Ciptaker 11/2020 dengan UU Ciptaker 6/2023. Keduanya memberikan ketentuan yang pada pokoknya menyatakan bahwa pemegang saham Perusahaan usaha mikro dan kecil tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban secata pribadi, apabila di kemudian hari perusahaan tersebut mengalami kerugian.
Ketentuan sebagaimana dimaksud di atas tidak berlaku untuk suatu peristiwa tertentu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *