Skip to content
Home » Penerapan Prinsip Musyarakah dalam Lembaga Pembiayaan

Penerapan Prinsip Musyarakah dalam Lembaga Pembiayaan

  • by

Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia POJK.03/2019 tentang Kualitas Aset Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aset Produktif Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (“POJK BPRS”), Pembiayaan berdasarkan Akad Musyarakah didefinisikan sebagai Pembiayaan dalam bentuk kerjasama antara BPRS  dengan Nasabah untuk suatu usaha tertentu, yang masing-masing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana masing-masing pihak (“Pembiayaan Musyarakah”)

Pada dasarnya, berdasarkan Buku Standar Produk Musyarakah dan Musyarakah Mutanaqishah yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (“Buku Standar OJK”) objek Pembiayaan Musyarakah dapat berupa Aset, Proyek, atau Usaha yang dapat menghasilkan keuntungan bagi para pihak, yang kemudian keuntungan tersebut akan dibagikan kepada para pihak yaitu Nasabah dan Lembaga Pembiayaan Syariah dengan sistem pembagian keuntungan bagi hasil, yang persentasenya telah ditetapkan dalam Perjanjian Pembiayaan.

Selain dapat memperoleh keuntungan, mengingat Fasilitas Pembiayaan Musyarakah ini merupakan Fasilitas Pembiayaan Kerjasama, kedua pihak juga wajib menanggung resiko kerugian yang timbul di kemudian hari secara bersama-sama atas kerugian yang timbul pada Objek Pembiayaan Musyarakah, dengan besaran tanggung jawab kerugian sebesar modal yang telah disertakan. Atas hal tersebut, dalam hal ini juga para pihak dapat melakukan penambahan atau pengurangan modal masing-masing pihak, dengan konsekuensi para pihak akan menyepakati perubahan proporsi modal dan rasio pembagian keuntungan ataupun kerugian.

Jaminan dan Agunan dalam Musyarakah

Sebagai bentuk mitigasi kerugian, pada dasarnya peraturan perundang-undangan dan Buku Standar OJK telah mengatur bahwa dalam pelaksanaan Pembiayaan Musyarakah, Lembaga Pembiayaan Syariah dapat meminta jaminan dan/atau agunan atas tiap-tiap Fasilitas Pembiayaan kepada Nasabah, yang dapat dicantumkan secara tegas dalam Perjanjian Fasilitas Pembiayaan.

Akan tetapi, perlu diingat bahwa senyatanya jaminan dan/atau agunan tersebut padadasarnya merupakan “secondary source repayment”, mengingat jaminan pokok dalam

Fasilitas Pembiayaan Musyarakah yaitu berupa keyakinan terhadap Nasabah, bawah Nasabah memiliki kesanggupan untuk melunasi seluruh pokok pembiayaannya sesuai dengan yang telah diperjanjikan dalam Perjanjian Fasilitas Pembiayaan.

Sebagai “secondary source repayment”, dalam hal ini jaminan dan/atau agunan hanya dapat dieksekusi sebagai sumber pelunasan Pembiayaan Musyarakah apabila Nasabah sungguh sungguh tidak bisa lagi memenuhi kewajibannya untuk melunasi pokok angsuran atas Fasilitas Pembiayaan Musyarakah yang telah diterimanya. Jaminan dan/atau agunan yang dapat disertakan dalam Perjanjian Fasilitas Pembiayaan pada dasarnya dapat berupa Objek Musyarakah itu sendiri, yang dapat dibebankan dengan Hak Tanggungan, Hak Gadai dan/atau Hak Jaminan.

Akan tetapi, sebagaimana diketahui bersama tiap-tiap jaminan dan/atau agunan pada dasarnya wajib ditindaklanjuti dengan melakukan pendaftaran jaminan dan/atau agunan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, untuk kemudian dapat diterbitkan sertipikat agunan berupa Sertipikat Hak Tanggungan dan/atau Sertipikat Fidusia(untuk Pembiayaan Benda Bergerak). Dengan dilakukannya pendaftaran dan diterbitkannya Sertipikat Hak Tanggungan dan/atau Sertipikat Fidusia, dalam hal ini dapat menimbulkan hak eksekutorial bagi Lembaga Pembiayaan Syariah apabila Nasabah telah terindikasi gagal melakukan pembayaran pokok angsuran Fasilitas Pembiayaan.

Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Buku Standar OJK, pada dasarnya untuk dapat melakukan pendaftaran pembebanan Hak Tanggungan, Hak Gadai dan/atau Hak Jaminan sebagaimana dimaksud di atas, Lembaga Pembiayaan Syariah harus terlebih dahulu  mendapatkan kuasa dari Nasabah untuk melakukan pembebanan jaminan. Adapun, hal tersebut sejalan dengan ketentuan yang tercantum dalam Buku Standar OJK yang menyatakan bahwa eksekusi terhadap objek jaminan hanya dapat dilakukan berdasarkan  persetujuan dan kesepakatan antara Lembaga Pembiayaan Syariah dan Nasabah.

Selain itu, dengan mendasar pada prinsip Syariah, dalam hal Nasabah terindikasi gagal bayar kepada Lembaga Pembiayaan Syariah, Lembaga Pembiayaan Syariah tidak dapat menerbitkan Surat Pengakuan Utang (Grosse Akta) terkait perjanjian Musyarakah. Hal ini dikarenakan bahwa senyatanya Musyarakah bukan merupakan bentuk perjanjian terkait utang piutang, melainkan perjanjian yang merupakan bentuk kerjasama penyertaan modal usaha dari Lembaga Pembiayaan Syariah dan Nasabah. Apabila Lembaga Pembiayaan Syariah menerbitkan Surat Pengakuan Utang atas akad Musyarakah, dalam hal ini bagi hasil yang  diperoleh dari kegiatan usaha atau Objek Musyarakah akan berubah sifat menjadi riba.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dalam hal ini dapat dipahami bahwa meskipun Fasilitas Pembiayaan Musyarakah senyatanya merupakan Fasilitas Pembiayaan yang didasarkan pada Prinsip Syariah, akan tetapi dalam pelaksanaannya tetap memperbolehkan adanya pembebanan jaminan berupa Hak Tanggungan, Hak Gadai dan/atau Hak Jaminan untuk memitigasi resiko dan menjamin hak Lembaga Pembiayaan Syariah dalam hal Nasabah tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk melakukan pembayaran Fasilitas Pembiayaan kepada Lembaga Pembiayaan Syariah.

Musyarakah Mutanaqishah

Pada dasarnya, Prinsip Musyarakah Mutanaqishah (“MMQ”) merupakan salah satu produk Lembaga Pembiayaan Syariah yang berasal dari pengembangan produk Lembaga Pembiayaan Syariah dengan akad Musyarakah. MMQ pada dasarnya dilakukan untuk tujuan pembiayaan kepemilikkan aset seperti rumah dan/atau kendaraan, baik pembiayaan yang bersifat produktif ataupun pembiayaan konsumtif yang diaplikasikan pada pembiayaan kendaraan (KKB), maupun pembiayaan properti atau rumah (KPR).

Struktur produk berbasis akad MMQ pada dasarnya dilakukan secara multiakad, yang terdiri dari akad ijarah (leasing), ijara mawsulfah fi zimmah (advance/forward lease), bai al  musawamah (penjualan) ataupun akad istisna (manufaktur), sesuai dengan Objek Pembiayaan yang disepakati oleh para pihak.

Lebih lanjut, pada dasarnya sebagaimana tercantum dalam Buku Panduan OJK, Tujuan Pembiayaan MMQ ditujukan untuk hal-hal sebagai berikut, termasuk namun tidak terbatas xpada :

  1. Pembelian Properti Baru (Ready Stock);
  2. Properti Lama (Second);
  3. Properti Baru Indent;
  4. Take Over; dan
  5. Refinancing.

Pelaksanaan MMQ pada dasarnya serupa dengan mekanisme pelaksanaan Fasilitas Pembiayaan Musyarakah, yaitu Fasilitas yang dilakukan dengan basis bagi hasil antara Lembaga Pembiayaan Syariah dengan Nasabah, dalam rangka kepemilikkan aset dimana porsi modal Lembaga Pembiayaan Syariah berkurang dan beralih secara bertahap kepada pihak Nasabah melalui mekanisme pembelian angsuran atau pengalihan secara komersial. Pihak yang dapat melaksanakan Prinsip MMQ ini, pada dasarnya terdiri dari orang – perorangan dan/atau Badan Usaha. Dalam hal pihak yang akan mengajukan MMQ tersebut adalah Badan Usaha, Badan Usaha yang bersangkutan wajib memiliki Usaha yang legal dan memenuhi prinsip serta ketentuan syariah, dengan dibuktikan oleh dokumen-dokumen legalitas yang diterbitkan oleh Pejabat dan/atau Instansi yang berwenang.

Modal yang dapat disertakan dalam pembiayaan MMQ dapat berupa pembiayaan tunai ataupun pembiayaan lain selain tunai yang umum diketahui. Akan tetapi, setiap penyertaan yang diterima dan dibayarkan oleh pihak lain atau pihak ketiga (bukan para pihak yang  berkontrak), dapat diakui sebagai utang dan tidak dapat diakui sebagai modal penyertaan MMQ.

Lebih lanjut, Objek atau Properti MMQ yang dibiayai dengan modal bersama antara Nasabah dengan Lembaga Pembiayaan Syariah dapat dikatakan sebagai properti yang dimiliki secara bersama oleh para pihak, sehingga segala bentuk kewajiban dan risiko yang timbul atas properti tersebut menjadi tanggungjawab yang harus dibagi dan ditanggung oleh para pihak sesuai dengan porsi modal. Akan tetapi, mengingat Hukum Positif tidak mengatur adanya kepemilikan satu aset dengan dua nama, dalam hal ini para pihak dapat bersepakat dan  menyatakan bahwa objek MMQ merupakan atas nama Nasabah.

Adapun, dengan disepakatinya dokumen kepemilikan atas nama Nasabah sebagaimana dimaksud di atas, untuk memitigasi risiko atas Fasilitas Pembiayaan bagi pihak Lembaga Pembiayaan Syariah, dalam hal ini bukti dokumen kepemilikkan Objek MMQ akan disimpan oleh Lembaga Pembiayaan Syariah sampai dengan saldo modal Lembaga Pembiayaan Syariah mencapai nihil atau Nasabah telah melakukan kewajibannya untuk membayar seluruh angsuran atas pembiayaan tersebut kepada Lembaga Pembiayaan Syariah. Akan tetapi, penyerahan bukti kepemilikkan tersebut hanya dapat diserahkan oleh Instansi yang berwenang kepada Lembaga Pembiayaan Syariah setelah bukti kepemilikkan didaftarkan Hak Tanggungan.

Sama halnya seperti prinsip Musyarakah, jaminan dan agunan dalam MMQ sebagaimana dimaksud diatas pada dasarnya merupakan secondary source repayment yang dapat dieksekusi apabila Nasabah sungguh-sungguh tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran atas pembiayaan yang diterimanya. Lebih lanjut, dalam MMQ menerapkan prinsip bahwa Lembaga Pembiayaan Syariah tidak dapat menerbitkan Surat Pengakuan Utang, untuk menghindari terjadinya riba pada bagi hasil keuntungan yang disepakati dalam MMQ.

Take Over Kredit Nasabah pada MMQ

Pada dasarnya, Fasilitas Pembiayaan MMQ memiliki salah satu tujuan pembiayaan untuk melakukan take over pembiayaan kepemilikkan properti atau pembiayaan sejenis produk KPR dari Lembaga Pembiayaan Syariah lain atau Bank Konvensional dengan maksimum limit pembiayaan sebesar outstanding pada plafond awal. Take Over yang dapat dilakukan oleh Lembaga Pembiayaan Syariah itu sendiri pada dasarnya terdiri dari 2 (dua) jenis yang diantaranya yaitu berupa Take Over Murni dan Take Over jual beli.

Take Over murni pada dasarnya merupakan pengambilalihan pembiayaan oleh Lembaga  Pembiayaan Syariah dari Bank lain dimana pembiayaan itu atas nama Nasabah atau  suami/istri Nasabah yang bersangkutan disertai agunan atas nama Nasabah atau suami/istri Nasabah yang bersangkutan. Sedangkan, Take Over jual beli merupakan pengambil alihan pembiayaan oleh Lembaga Pembiayaan Syariah dari Bank lain dimana pembiayaan itu bukan  atas nama Nasabah atau suami/istri Nasabah yang bersangkutan sehingga diperlukan adanya proses pengalihan Nasabah dan kepemilikkan agunan.

Atas penjelasan berkaitan dengan take over pada Pembiayaan MMQ, dapat dipahami bahwa senyatanya take over tersebut merupakan tindakan pengalihan kreditur, yang pengalihannya dapat dilakukan oleh Lembaga Pembiayaan Syariah dengan Lembaga Pembiayaan Syariah lainnya, atau Lembaga Pembiayaan Syariah dengan Bank Konvensional. Adapun, ketentuan Take Over MMQ yang tercantum dalam Buku Standar OJK tidak mengatur  mengenai pengalihan debitur yang dilakukan antar Nasabah dengan pihak lainnya yang bukan Lembaga Pembiayaan.

Pengalihan Piutang dalam Prinsip Syariah (Hawalah)

Hawalah pada dasarnya merupakan salah satu konsep dalam hukum Islam yang diatur dalam Pasal 19 huruf G Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, yang pada pokoknya menyatakan bahwa Akad Hawalah merupakan Akad pengalihan utang dari pihak yang berutang kepada pihak  lain yang wajib menanggung atau membayar utang tersebut. Hal ini pada dasarnya sejalan dengan ketentuan yang tercantum dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 12/DSN MUI/IV/2000 (“Fatwa MUI 12/2000”) tentang Hawalah, yang pada pokoknya menyatakan bahwa “rukun hawalah adalah muhil, yakni orang yang berutang dan sekaligus berpiutang,  muhal atay muhtal yakni orang berpiutang kepada muhi, muhal atau muhtal yakni orang  berpiutang kepada muhil, muhal alaih yakni orang yang berutang kepada muhil dan wajib  membayar utang kepada muhtal berdasarkan ijab qabul yang dinyatakan oleh para pihak  dalam suatu akad”.

Atas ketentuan sebagaimana dimaksud di atas, dapat dipahami bahwa Hawalah merupakan suatu tindakan pengalihan utang dari debitur kepada pihak ketiga lainnya untuk dapat melakukan pembayaran utang kepada kreditur yang didasarkan pada persetujuan para pihak.


Hawalah dalam Fasilitas Pembiayaan pada Lembaga Pembiayaan Syariah

Musyarakah dan Musyarakah Mutanaqishah pada dasarnya merupakan bagian dari produk Fasilitas Pembiayaan Syariah yang dikeluarkan oleh Lembaga Pembiayaan Syariah. Adapun, untuk dapat melindungi dan menjamin hak Lembaga Pembiayaan Syariah, selain memberikan jaminan berupa Hak Tanggungan, Hak Gadai dan/atau Hak Jaminan dalam hal ini berdasarkan  Prinsip Hawalah sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dan Fatwa  MUI 12/2000, seharusnya Nasabah dapat melakukan pengalihan utang kepada pihak lainnya yang dianggap mampu untuk melakukan pembayaran sisa kewajiban kepada Lembaga Pembiayaan Syariah, sebagai bentuk solusi agar hak Lembaga Pembiayaan Syariah dapat tetap terpenuhi dari pihak lain.

Hal sebagaimana dimaksud di atas juga pada dasarnya sejalan dengan ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan Syariah (“POJK 31/2014”), yang mendefinisikan Hawalah sebagai pengalihan utang dari satu pihak yang berutang kepada pihak lain yang wajib menanggung pembayarannya atau yang dikenal dengan istilah Hawalah.

Mekanisme lebih lanjut berkaitan dengan ketentuan pelaksanaan Hawalah pada dasarnya diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/14/DPbS perihal Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah (“SE BI Prinsip Syariah”). Adapun, berdasarkan SE BI Prinsip Syariah, pada dasarnya Hawalah itu sendiri merupakan salah satu Pelayanan Jasa yang dilakukan oleh Lembaga  Pembiayaan Syariah, dalam bentuk pemberian jasa pengalihan utang dengan lingkup pelayanan sebagai berikut :

  1. Hawalah Mutlaqah yaitu transaksi yang berfungsi untuk pengalihan utang para pihak yang menimbulkan adanya dana keluar (cash out) Bank; dan
  2. Hawalah Muqayyadah yaitu transaksi yang berfungsi untuk melakukan set-off utang piutang di antara 3 (tiga) pihak yang memiliki hubungan muamalat (utang piutang) melalui transaksi pengalihan utang, serta tidak menimbulkan adanya dana keluar (cash out)
  1. Sebagaimana diatur dalam SE BI Prinsip Syariah, Hawalah Mutlaqah pada dasarnya merupakan salah satu bentuk pengalihan utang yang diterima oleh Bank atas utang nasabah kepada pihak ketiga lainnya. Sehingga, dalam hal ini Bank memiliki kewajiban untuk menyelesaikan pembayaran utang tersebut kepada pihak ketiga lainnya. Sedangkan,

Hawalah Muqayyadah merupakan salah satu bentuk pengalihan utang, yaitu Bank bertindak  sebagai pihak yang menerima pengalihan utang atas utang nasabah kepada pihak ketiga, dimana sebelumnya Bank memiliki utang kepada nasabah.Atas ketentuan yang tercantum dalam SE BI Prinsip Syariah, dalam hal ini Lembaga Pembiayaan serta Instansi terkait yang berwenang, pada dasarnya membatasi pelaksanaan Hawalah hanya sebatas pada Hawalah Mutlaqah dan Hawalah Muqayyadah yang merupakan pengalihan utang kepada Bank untuk meneruskan kewajiban pembayaran utang milik Nasabah. Lebih lanjut, SE BI Prinsip Syariah tidak mengatur mengenai Hawalah yang dialihkan kepada pihak ketiga lainnya yang bukan merupakan Lembaga Pembiayaan/Bank,  atas utang nasabah kepada Lembaga Pembiayaan Syariah.

Restrukturisasi Kredit atas Fasilitas Pembiayaan Musyarakkah dan/atau MMQ

Dalam hal Nasabah mengalami kesulitan untuk melakukan pembayaran dan/atau penyelesaian kewajiban atas Pembiayaan Musyarakah dan/atau MMQ, pada dasarnya POJK.03/2019 menyatakan bahwa Nasabah yang bersangkutan dapat melakukan restrukturisasi Pembiayaan, sebagai upaya perbaikan kredit yang dilakukan oleh BPRS agar dapat memberikan keringanan pelunasan kewajiban kepada Nasabah. Untuk dapat melakukan Restrukturisasi, Nasabah yang bersangkutan setidak-tidaknya telah memenuhi kriteria sebagai berikut, termasuk namun tidak terbatas pada :

  1. Nasabah mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau margin/bagi hasil/ujrah; dan
  2. Nasabah memiliki prospek usaha yang baik dan dinilai mampu memenuhi kewajiban setelah Pembiayaan direstrukturisasi.

Lebih lanjut, berdasarkan Lampiran III POJK.03/2019, restrukturisasi sebagaimana dimaksud di atas, khususnya Restrukturisasi terhadap Pembiayaan Musyarakah pada dasarnya hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal sebagai berikut, termasuk namun tidak terbatas pada :

  1. Rescheduling berupa restrukturisasi dengan maksud dan tujuan untuk memperpanjang jangka waktu jatuh tempo Pembiayaan tanpa mengubah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada BPRS;
  2. Reconditioning atau menetapkan kembali syarat-syarat pembiayaan berkaitan dengan nisbah bagi hasil, jumlah angsuran, jangka waktu, jadwal pembayaran, pemberian potongan pokok dan/atau lainnya tanpa menambah sisa kewajiban Nasabah yang harus dibayarkan kepada BPRS; dan
  3. Restructuring dengan penambahan dana, yaitu berupa restrukturisasi dengan menambah dana BPRS kepada Nasabah agar kegiatan usaha Nasabah dapat kembali berjalan dengan baik.

Sebagaimana telah diuraikan di atas, pada dasarnya restrukturisasi Pembiayaan Syariah hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan objek pembiayaan. POJK.03/2019 termasuk Lampirannya tidak mengatur restrukturisasi perihal data Nasabah khususnya berkaitan dengan perubahan Nasabah yang dapat mengalihkan utang atas Pembiayaan Musyarakah kepada pihak lain.

Kesimpulan

Jaminan/agunan dalam akad Musyarakah atas tiap-tiap Fasilitas Pembiayaan kepada Nasabah diperbolehkan sebagai secondary source repayment dengan tetap memperhatikan kapasitas dan kemampuan membayar Nasabah. Apabila Nasabah tidak mampu melunasai Fasilitas Pembiayaan, Lembaga Pembiayaan Syariah dapat melakukan eksekusi terhadap jaminan/agunan berdasarkan kesepakatan dengan Nasabah dengan memperoleh kuasa dari Nasabah.

Dalam hal Nasabah dan Lembaga Pembiayaan sepakat untul melakukan restrukturisasi Kredit atas Fasilitas Pembiayaan Musyarakkah dan/atau MMQ, restrukturisasi tersebut hanya dapat dilakukan dengan alasan memiliki kesulitan pembayaran namun memiliki prospek usaha yang baik dan dinilai mampu untuk memenuhi kewajiban setelah direstrukturisasi. Restrukturisasi dilakukan dengan rescheduling, reconditioning dan resctructuring penambahan dana.