Skip to content
Home » Pemisahan Harta dalam Perkawinan dan Perjanjian Pra-Nikah (Prenuptial Agreement)

Pemisahan Harta dalam Perkawinan dan Perjanjian Pra-Nikah (Prenuptial Agreement)

  • by

A. Harta Bersama dalam Perkawinan

Dalam suatu perkawinan yang sah, suatu harta benda yang diperoleh suami atau istri dalam perkawinan tersebut akan dikategorikan sebagai Harta Bersama bagi suami dan isteri dalam perkawinan tersebut. Hal ini sejalan dengan ketentuan pada Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) yang pada pokonya menyatakan bahwa :

“Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”.

Meskipun demikian, ketentuan sebagaimana dimaksud di atas dikecualikan untuk suatu
harta benda yang diperoleh suami atau istri atas perbuatan hukum tertentu diantaranya
yaitu terhadap harta benda sebagai berikut, termasu k namun tidak terbatas pada :
1) Harta Bawaan;
2) Harta yang diperoleh Suami atau Istri dari hadiah; dan
3) Harta yang diperol e h Suami atau Istri dari pewarisan.

Terhadap harta benda yang tidak dapat dikategorikan sebagai Harta Bersama dalam suatu perkawinan sebag aimana dimaksud di atas, Pasal 35 ayat 2 UU Perkawinan telah menegaskan bahwa penguasaan terhadap harta harta tersebut pada dasarnya berada dibawah penguasaan masing masing suami/istri yang memperoleh harta tersebut, kecuali para pihak (suami/isteri) dalam perkawinan tersebut menentukan lain.

B. Pemisahan Harta dalam Perkawinan

Sebagaimana telah diuraikan pada poin A di atas, harta benda yang diperoleh suami/isteri dalam suatu perkawinan yang sah pada dasarnya akan dianggap sebagai Harta Bersama. Akan tetapi, ketentuan tersebut diatas menjadi tidak berlaku apabila suami/isteri yang bersangkutan melakukan pemisahan harta kekayaan dalam suatu perjanjian perkawinan.

Hal sebagaimana dimaksud di atas didasarkan pada ketentuan mengenai Perjanjian Kawin, khususnya dalam Pasal 139 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) yang pada pokoknya menyatakan bahwa :

“Para calon suami isteri dengan perjanjian kawin dapat menyimpang peraturan perundang-undangan mengenai harta bersama asalkan hal itu tidak bertentangan dengan tata susila yang baik atau dengan tata tertib umum”.

Apabila mengacu pada ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan yang telah disesuaikan dan disempurnakan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 (“Putusan Mahkamah Konstitusi Pisah Harta”), pada dasarnya Perjanjian Perkawinan dapat dibuat oleh suami/isteri baik sebelum perkawinan berlangsung ataupun sesaat perkawinan berlangsung dan telah dinyatakan sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 29 ayat 1 UU Perkawinan, yang pada pokoknya menyatakan bahwa :

Pada waktu sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”.

Dengan adanya pemisahan harta melalui Perjanjian Perkawinan yang dibuat pada saat sebelum ataupun sesudah perkawinan dilangsungkan, dalam hal ini harta benda yang diperoleh masing-masing isteri atau suami selama perkawinan menjadi sepenuhnya hak bagi masing-masing untuk menguasai harta benda tersebut secara pribadi.

C. Jenis Pemisahan Harta

C.1. Pemisahan Harta Secara Bulat

Pemisahan Harta Secara Bulat yaitu merupakan Pemisahan Harta yang dilakukan oleh suami dan isteri melalui Perjanjian Perkawinan. Dengan adanya Perjanjian Perkawinan, dalam hal ini dapat dipahami bahwa harta kekayaan yang ada pada perkawinan tersebut yaitu harta pribadi suami dan harta pribadi istri.

Dengan adanya pemisahan harta perkawinan secara bulat, pada dasarnya keperluan biaya rumah tangga yang meliputi biaya hidup dan biaya pendidikan anak-anak ditanggung secara bersama-sama oleh suami dan isteri. Meskipun demikian, dalam Perjanjian Perkawinan dapat ditentukan bahwa isteri hanya akan menanggung biaya hidup dan biaya pendidikan anak-anak dalam jumlah tertentu setiap tahunnya, sehingga, isteri tidak memiliki kewajiban untuk menanggung biaya-biaya tersebut lebih dari apa yang disepakati dalam Perjanjian Perkawinan.

C.2. Pemisahan Harta Secara Gabungan

Di dalam KUHPerdata juga pada dasarnya mengenal Pemisahan Harta dengan Gabungan Keuntungan dan Kerugian atau Gabungan Hasil Pendapatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 155 KUHPerdata sampai dengan Pasal 167 KUHPerdata.

Dengan adanya perjanjian bahwa suami dan isteri sepakat untuk menuangkan kesepakatan Gabungan Keuntungan dan Kerugian atau Gabungan Hasil Pendapatan, dalam hal ini dapat diartikan bahwa pasangan suami isteri yang bersangkutan telah menutup jalan untuk adanya gabungan harta bersama secara menyeluruh, mengingat dengan adanya kesepakatan “Gabungan Keuntungan dan Kerugian atau Gabungan Hasil Pendapatan”, suami dan isteri yang bersangkutan sepakat bahwa persatuan hal-hal yang berkaitan dengan harta yaitu hanya sebatas persatuan keuntungan dan kerugian yang dialami oleh masing-masing pihak dalam perkawinan.

Oleh karenanya, dengan disepakatinya Gabungan Keuntungan dan Kerugian atau Gabungan Hasil Pendapatan, masing-masing pihak yaitu suami atau isteri tetap dapat menguasai benda dan/atau harta yang diperoleh masing-masing sepanjang pernikahan secara sepenuhnya, tanpa ada harta benda yang dimiliki secara bersama-sama, kecuali peroleh keuntungan dan penanggungan kerugian.

Atas uraian tersebut, apabila dalam suatu perkawinan suami dan isteri menyepakati untuk melakukan Pemisahan Harta dengan Gabungan Keuntungan dan Kerugian atau Gabungan Hasil Pendapatan, dalam hal ini dapat dipahami bahwa dalam perkawinan tersebut terdapat 3 jenis harta kekayaan yaitu :
1) Harta persatuan yang terbatas, yaitu untung dan rugi
2) Harta pribadi suami; dan
3) Harta Pribadi Isteri.

Untuk dapat mempermudah pemahaman berkaitan dengan keuntungan dan/atau kerugian yang diperoleh dalam kesepakatan Gabungan Keuntungan dan Kerugian, pada dasarnya KUHPerdata telah mengkategorikan hal-hal apa saja yang dapat dikatakan sebagai keuntungan ataupun kerugian dalam perkawinan. Adapun, hal tersebut diatur dalam Pasal 157 KUHPerdata, yang pada pokoknya menyatakan bahwa :

Yang dianggap sebagai keuntungan pada harta bersama suami isteri ialah bertambahnya harta kekayaan mereka, berdua yang selama perkawinan timbul dan hasil harta kekayaan mereka dan pendapatan masing-masing dan usaha dan kerajinan masing-masing dan penabungan pendapatan yang tidak dihabiskan, yang dianggap sebagai kerugian ialah berkurangnya harta benda itu akibat pengeluaran yang lebih tinggi dari pendapatan”.

Secara konkrit, keuntungan berupa “hasil harta kekayaan mereka” dalam ketentuan Pasal 157 KUHPerdata dapat dimaknai berupa hasil sewa rumah, bunga uang deposito, deviden dari saham-saham, serta hal lainnya yang serupa. Selain itu, berkaitan dengan keuntungan, dalam Pasal 159 KUHPerdata dinyatakan bahwa “barang-barang tetap dan efek-efek yang dibeli selama perkawinan, atas nama siapapun juga dianggap sebagai keuntungan, kecuali bila terbukti sebaliknya”. Adapun, semua utang milik suami dan isteri yang timbul selama perkawinan harus dihitung sebagai kerugian bersama.

Meskipun demikian, Pasal 158 KUHPerdata menegaskan bahwa harta kekayaan suami/isteri yang diperoleh selama perkawinan dan berasal dari warisan, wasiat atau hibah tetap tidak dapat dikatakan sebagai keuntungan perkawinan. Adapun, hal-hal lainnya yang tidak dapat dikategorikan sebagai keuntungan maupun kerugian dalam perkawinan yaitu :
1) Naik atau turunnya harga barang salah seorang dan suami isteri;
2) Perbaikan barang-barang tetap yang terjadi karena pertumbuhan tanah, perdamparan lumpur, penanganan oleh tukang kayu; dan
3) Suatu hal yang dirampas akibat kejahatan salah seorang suami atau isteri

Selain melalui Perjanjian Perkawinan, pada dasarnya pemisahan harta benda selama perkawinan dapat terjadi apabila isteri mengajukan tuntutan pemisahan harta benda kepada Hakim. Adapun, hak isteri untuk mengajukan tuntutan tersebut diatur dalam Pasal 186 KUHPerdata, yang pada pokoknya menyatakan bahwa :

“Selama perkawinan, si isteri boleh mengajukan tuntutan akan pemisahan harta benda kepada Hakim, tetapi hanya dalam hal hal :
1. Bila suami dengan kelakuan buruk memboroskan barang barang dan gabungan harta bersama, dan membiarkan rumah tangga terancam bahaya kehancuran; dan/atau
2. Bila karena kekacau-balauan dan keburukan pengurusan harta kekayaan si suami, jaminan untuk harta perkawinan isteri serta untuk apa yang menurut hukum menjadi hak isteri akan hilang, atau jika karena kelalaian besar dalam pengurusan harta perkawinan si isteri, harta itu berada dalam keadaan bahaya”.

D. Batasan Perjanjian Perkawinan

Berbeda dengan perjanjian pada umumnya yang dapat memuat segala kehendak dari para pihak dalam perjanjian, penerapan perjanjian perkawinan pada dasarnya hanya dapat memuat ketentuan mengenai pemisahan harta bersama. Adapun, peraturan perundang-undangan memberikan ketentuan mengenai batasan muatan yang diatur dalam perjanjian perkawinan, yang pada pokoknya perjanjian perkawinan tidak boleh melanggar ketentuan dan/atau syarat-syarat sebagai berikut :
1. Tidak membuat janji yang bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum;
2. Perjanjian kawin tidak boleh mengurangi hak-hak yang timbul dari kekuasaan suami sebagai suami (marital macht), atau dengan kata lain istilah marital macht tersebut dapat dimaknai bahwa suami diberi wewenang yang sangat besar dalam mengurus harta perkawinan, agar harta kekayaan tersebut tetap utuh dan berbuah.
3. Tidak boleh mengurangi hak-hak yang timbul dari kekuasaan orangtua, seperti hak untuk mengurus harta kekayaan anak-anak dan mengambil keputusan mengenai pendidikan atau hak untuk mengasuh anak-anak;
4. Tidak boleh mengurangi hak-hak yang ditentukan oleh undang-undang bagi suami atau istri yang hidup terlama, seperti untuk menjadi wali dan wewenang untuk menunjuk wali dengan “testament”; dan
5. Tidak boleh memuat janji-janji yang mengadung pelepasan hak atas harta peninggalan keluarga sedarah mereka dalam garis kebawah atau dalam kata lain mengatur mengenai pewarisan.

Peraturan perundang-undangan baik KUHPerdata ataupun UU Perkawinan, tidak menegaskan lebih lanjut mengenai pemisahan harta benda secara keseluruhan atau pemisahan harta benda sebagian. Akan tetapi, mengingat Perjanjian Perkawinan merupakan perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata, dalam hal ini hukum dasar atas pemberlakukan dan pembuatan Perjanjian Perkawinan dapat didasarkan pada Pasal 1320 KUHPerdata yang pada pokoknya menyatakan bahwa suatu Perjanjian adalah sah, apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3) Terdapat suatu pokok persoalan tertentu; dan
4) Kausa halal atau tidak melanggar peraturan perundang-undangan.

Perjanjian Perkawinan dan Pemisahan Harta akan berlaku sah bagi para pihak dan/atau bagi pihak ketiga lainnya yang terkait apabila Perjanjian Perkawinan disebut dibuat sesuai dengan prosedur yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, adapun dalam hal ini suami dan isteri yang hendak membuat Perjanjian Perkawinan wajib untuk mendaftarkan Perjanjian Perkawinan dengan melalui prosedur sebagai berikut:
1) Perjanjian Perkawinan dibuat dengan Akta Perjanjian di hadapan notaris;
2) Perjanjian Perkawinan harus didaftarkan ke Disdukcapil domisili setempat.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *