Skip to content
Home » Konsep Ideal Pembiayaan Syariah

Konsep Ideal Pembiayaan Syariah

  • by
  1. Akad Berdasarkan Prinsip Syariah

Secara umum, sah atau tidak suatu Akad tunduk pada Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (“KHES”). Berdasarakan Pasal 28 KHES, diatur bahwa Akad yang sah adalah akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Lebih lanjut dalam Pasal 29 ayat (1) KHES, Akad yang sah adalah akad yang disepakati dalam Perjanjian yang didalamnya tidak mengandung unsur ghaiath atau khilaf, dilakukan di bawah ikrah atau paksaan, taghrir atau tipuan, dan ghubn atau penyamaran.

Bahkan pada pokoknya berdasarkan Pasal 29 ayat (2), syarat-syarat sahnya suatu Akad pada pokoknya serupa dengan syarat sahnya suatu Perjanjian dalam KUHPerdata yakni sebagai berikut:

  1. kesepakatan mengikatkan diri;
  2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  3. terhadap sesuatu hal tertentu;
  4. suatu sebab yang halal menurut syari’at Islam (prinsip Syariah).

Merujuk pada dalam Pasal 1 ( angka 13) Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan bahwa Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan badan usaha, atau kegiatan lainya yang sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan dengan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli dengan memperoleh keuntungan (murabahah) atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa

iqtina).

B. Akad Pembiayaan berdasarkan mekanisme Mudharabah

Khusus pada Pasal 29 ayat (2) huruf d KHES, terdapat prinsip-prinsip syari’at Islam yang sifatnya sangat fundamental. Dalam hal pemberian fasilitas (pinjam-meminjam) dalam hukum Islam dikenal dengan istilah “MUDHARABAH”. Hal tersebut diatur dalam Bab VIII KHES. Singkatnya Mudharabah adalah akad kerjasama antara pemilik dana (shahib al-mâl) dengan pengusaha (mudharib) untuk melakukan suatu usaha bersama Menurut istilah fiqih, Mudharabah ialah akad perjanjian (kerja sama usaha) antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati. Mudharabah hukumnya boleh berdasarkan dalil-dalil berikut:

No.

Isi

1.

Al-Qur‟an:
Firman Allah: “Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah..”.(QS. alMuzzammil: 20)

Dan firman-Nya: “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….” (QS. alMa‟idah: 1)

Firman Allah: “Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”. (QS. Al-Baqarah: 283).

2.

Al-Hadits:
Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma meriwayatkan bahwa Abbas bin Abdul Muthallib(paman Nabi) jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepadamudharib (pengelola)nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah,serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia(mudharib/pengelola) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yangditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.” (HR. AlBaihaqi didalam As-Sunan Al-Kubra(6/111))

Shuhaib radhiyallahu anhu berkata: Rasulullahbersabda: “Ada tiga hal yangmengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah),danmencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukanuntuk dijual.” (HR. Ibnu Majah)

3. 

Ijma:
Para ulama telah berkonsensus atas bolehnya mudharabah. (Bidayatul Mujtahid, karya
Ibnu Rusyd (2/136))Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang,
mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun
mengingkari mereka.karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma‟

4. 

Qiyas.
Transaksi mudharabah diqiyaskan kepada transaksi musaqah.

5. 

Kaidah fiqih
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.”

Rukun dari akad mudharabah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa, yaitu:

1) Pelaku akad, yaitu shahibul maal (pemodal) adalah pihak yang memiliki modal tetapi tidak bisa berbisnis, dan mudharib (pengelola) adalah pihak yang pandai berbisnis, tetapi tidak memiliki modal;

2) Objek akad, yaitu modal (maal), kerja (dharabah), dan keuntungan (ribh); dan

3) Shighah, yaitu Ijab dan Qabul.

Sementara itu, syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi dalam mudharabah terdiri dari syarat modal dan keuntungan. Syarat modal, yaitu:

1) Modal harus berupa uang;

2) Modal harus jelas dan diketahui jumlahnya;

3) Modal harus tunai bukan hutang; dan

4) Modal harus diserahkan kepada mitra kerja.

Selain dari modal, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya yakni keuntungan.

Keuntungan dalam rukun mudharabah ini tidak diterima dalam bentuk bunga, mengingat bunga merupakan suatu riba yang diharakam dalam syariat Islam. Oleh karenanya keuntungan yang dimaksud diperoleh dan bersumber dari kegiatan usaha penerima modal.

C. Riba sebagai suatu Unsur yang Diharamkan

Penyebab mengapa bunga diharamkan dikarenakan terdapat persamaan antara ribâ dengan bunga bank. Dengan kesamaan itulah maka karena ribâ haram maka bunga bank juga haram. Bunga bank hukumnya haram karena adanya imbalan atas jasa yang diberikan oleh pemilik modal atas pokok modal yang dipinjamkan. Tambahan imbalan jasa itu bersifat mengikat dan diperjanjikan sebelumnya, sehingga besaraanya sudah ditentukan di awal transaksi. Alasan lain kenapa bunga bank haram, karena yang menikmati bunga bank adalah para pemilik modal. Jadi berdasarkan kesamaan sifat antara ribâ dan bunga bank, maka bunga bank mengikuti hukum ribâ, yaitu haram.

Al Qur’an menurunkan larangan ribâ dalam beberapa tahap pertama Surat al-Rûm (30) ayat 39, kedua Surat al-Nisâ’ (4) ayat 160- 161, ketiga Surat Ali Imrân (3) ayat 130, dan terakhir Surat al-Baqarah (2) ayat 275-279.

Ada 3 (tiga) jenis ribâ di perbankan, yaitu sebagai berikut:

  1. Ribâ Fadl adalah Ribâ karena pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitas, kuantitas dan waktu penyerahan. Pertukaran seperti ini mengandung gharar yaitu ketidak jelasan bagi kedua belah pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan. Dan hal ini kan membuat zalim bagi kedua belah pihak dan pihak – pihak lain.
  2. Ribâ Nasi’ah adalah Ribâ karena hutang piutang yang menentukan persyaratan pada pelunasannya (tambahan pembayaran). Transaksi semacam ini mengandung pertukaran kewajiban karena menanggung beban, karena berjalnnya waktu.Nasi’ah adalah penangguhan penyerahana atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribâi lainnya. Ribâ Nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan anatara barang yang diserahkan hari ini dengan yang diserahkan kemudian.
  3. Ribâ Jahiliah adalah Hutang yang dibayar melebihi pokoknya karena peminjam tidak mampu mengembalikan tepat waktu. Ribâ ini dilarang karena melanggar kaidah setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah ribâ.

Adapun penetapan mengenai pengenaan Bunga tersebut telah dikukuhkan melalui Fatwa Muhammadiyah sejak tahun 2000 lalu melalui Fatwa Dewan Syariah Nasional No.07/DSN – MUI/IV/200 tentang Pembiayaan Mudharabah. Selain Fatwa tersebut, tataran Peraturan Perundang-Undangan melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 31/POJK.05/2014, juga mengatur bahwa Penyelenggaraan kegiatan Pembiayaan Syariah wajib memenuhi prinsip keadilan (‘adl), keseimbangan (tawazun), kemaslahatan (maslahah), dan universalisme (alamiyah) serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, zhulm, risywah, dan objek haram.

  1. Cacat Hukum dan Upaya Hukum

Legalitas dari akad di dalam hukum Islam ada dua. Yang pertama shahih atau sah yang artinya semua rukun akad beserta semua kondisinya sudah terpenuhi, yang kedua, batil yaitu apabila salah satu dari rukun akad tidak terpenuhi maka akad tersebut menjadi batal atau tidak sah, apalagi kalau ada unsur Maisir, Gharar dan Riba di dalamnya. Ketiga unsur tersebut sebaiknya dihindari dalam transaksi yang menggunakan akad Syariah.

Untuk mengidentifikasi akad yang cacat dan akibat hukumnya dapat dilihat dalam 2 kategori yaitu:

  1. Akad yang dapat dibatalkan

Tidak setiap akad mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk terus dilaksanakan. Namun ada akad-akad tertentu yang mungkin menerima pembatalan, hal ini karena disebabkan adanya beberapa cacat yang bisa menghilangkan keridaan (kerelaan) atau kehendak sebagian pihak. Suatu akad menjadi batal apabila terjadi pada orang-orang yang tidak memenuhi syaratsyarat kecakapan atau obyeknya tidak menerima hukum akad hingga pada akad itu terdapat hal-hal yang menjadikannya dilarang syarak. Adapun faktor-faktor yang merusak ketulusan atau keridaan seseorang salah satunya adalah Kekeliruan atau kesalahan (Ghalath)

Kekeliruan yang dimaksud adalah kekeliruan pada obyek akad atau kontrak. Bila kekeliruan pada jenis obyek, akad itu dipandang batal sejak awal atau batal demi hukum. Bila kekeliruan terjadi pada sifatnya akad dipandang sah, tetapi pihak yang merasa dirugikan berhak memfasakh atau bisa mengajukan pembatalan ke pengadilan.

  1. Akad yang batal demi hukum

Akad yang cacat yaitu akad yang apabila rukun akad sudah terpenuhi tetapi syarat akad tidak terpenuhi, maka rukun menjadi tidak lengkap sehingga transaksi tersebut menjadi cacat (fasid). Tidak terpenuhinya salah satu rukun ataupun syarat akad maka akad dianggap tidak sah atau batal demi hukum. Akad harus sesuai dengan syariat Islam dan tidak boleh membuat suatu akad terhadap hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. Namun demikian, dengan batalnya suatu akad atau akad tersebut batal demi hukum maka hapuslah segala hak dan kewajiban yang melekat pada para pihak.

Ketentuan mengenai akad yang tidak sesuai prinsip di atas dituangkan ke dalam pasal 28 ayat (3) KHES yang mengatur bahwa Akad yang batal adalah akad yang kurang rukun dan atau syarat-syaratnya.

Merujuk pada 2 (dua) jenis kebatalan pada Akad yang telah disebutkan di atas, dalam hal Akad Mudharabah tidak memenuhi prinsip syariat Islam akibat adanya unsur riba, maka kebatalan pada Akad tersebut disebabkan hal-hal yang mengakibatkan “batal demi hukum”, bukan dengan alasan “dapat dibatalkan”.

Berdasarkan beberapa literatur ilmiah, pembatalan akad dapat dibagi menjadi sebagai berikut:

1) Fasakh Terhadap Akad Fasid

2) Fasakh Terhadap Akad yang Tidak Mengikat

3) Fasakh Terhadap Akad Karena Kesepakatan para Pihak Untuk Memfasakhnya

4) Fasakh Terhadap Akad Karena Adanya Urbun

5) Fasakh Terhadap Akad Mustahil Dilaksanakan

Dari kelima Fasakh tersebut, dasar yang paling mumpuni untuk dilakukannya pembatalan akibat adanya pelanggaran terhadap rukun syariat Islam adalah Fasakh Terhadap Akad Fasid. Pemutusan yang disebabkan akad fasid, merupakan hal yang menjadi kewajaran karena akad tersebut tidak memenuhi rukun dan syaratnya, sehingga mengakibatkan kerugian disatu pihak atau bahkan dikeduabelah pihak.

Dasar dari pembatalan tersebut harus merujuk pada ketentuan Pasal 29 ayat (1) j.o pasal 28 ayat (3) KHES, mengingat hal tersebut telah melanggar unsur-unsur serta berbagai tafsir dalam Hukum Agama Islam serta melanggar ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku baik dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan maupun Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI.

Merujuk dalam Putusan pengadilan Agama No.Pdt.G/2018/PA.JS, walaupun pembatalan tersebut bukan disebabkan karena adanya pelanggaran unsur riba (melainkan disebabkan karena adanya unsur penipuan Pasal 34 KHES) Pembatalan dapat diajukan ke Pengadilan Agama.

  1. Catatan Penting Perbedaan Pendapat

1) Dalam praktiknya, banyak sekali Lembaga Keuangan (“LKS”) Syariah yang memakai konsep pembiayaan bukan dengan konsep melainkan dengan dengan konsep “MURABAHAH”.

Berbeda dengan konsep Mudharabah, konsep Murabahan pada dasarnya bukan transaksi pinjam meminjam melainkan transaksi Jual Beli. Murabahah yang dipraktikkan pada LKS dikenal dengan Murabahah Li al-„Amir Bi asy-Syira‟ yaitu transaksi jual beli di mana seorang nasabah datang kepada pihak bank untuk membelikan sebuah produk perbankan, dan ia akan membeli barang tersebut secara murabahah, yakni sesuai harga pokok pembelian ditambah dengan tingkat keuntungan yang disepakati kedua pihak, dan nasabah akan melakukan pembayaran secara cicilan berkala sesuai dengan kemampuan finansial yang dimiliki. Mengenai kedudukan hukum praktik murâbahah li al-âmir bi al-Syira‟ ulama kontemporer berbeda pendapat.Ada yang memperbolehkan dan ada juga yang melarang atau mengharamkan.

Alasan yang memperbolehkan salah satunya sesederhana pernyataan Imam Syafi‟i dalam kitab al-Umm:

“dan ketika seseorang memperlihatkan sebuah barang tertentu kepada orang lain,  dan berkata belikanlah aku barang ini, dan engkau akan aku beri margin sekian”,  kemudian orang tersebut mau untuk membelikannya, maka jual beli tersebut  diperbolehkan”.

Adapun ulama kontemporer yang melarang dan mengharamkan praktik murabahah, menyatakan argumennya sebagai berikut:

  1. Transaksi murabahah di LKS/bank syariah sebenarnya bukan dimaksudkan untuk melakukan jual beli tapi hanya sekedar hîlahatau trik untuk menghalalkan riba. Mereka mengatakan bahwa maksud dan tujuan sebenarnya transaksi murabahah adalah untuk mendapatkan uang tunai, sebab kedatangan nasabah ke LKS/bank syariah sebenarnya adalah untuk mendapatkan uang tunai.
  2. Transaksi murabahah termasuk jual beli „ înah yang diharamkan. Jual beli „înah adalah pinjaman ribawi yang direkayasa dengan praktik jual beli.
  3. Bank syariah dalam melakukan transaksi murabahah, menjual barang yang tidak atau belum dimilikinya, dimana pihak bank syariah dan nasabah berjanji untuk melakukan transaksi murabahah.

2) Merujuk pada Lampiran Surat Edaran Mahkamah Agung Tahun 2019, pada huruf C angka 2 point b diatur bahwa Gugatan Pembatalan Akad ekonomi Syariah oleh Debitur yang akadnya bertentang dengan hukum Islam hanya dapat dilakukan sebelum objek akan dimanfaatkan oleh debitur dan apabila akad tersebut dibatalkan, debitur dihukum mengembalikan pokok pinjaman ditambah margin/nisbah sesuai dengan masa pinjaman yang telah berjalan.