Skip to content
Home » Hak Tenaga Kerja Perempuan di Lingkungan Pekerjaan

Hak Tenaga Kerja Perempuan di Lingkungan Pekerjaan

  • by

Sebagaimana tercantum dalam peraturan perundang-undangan khususnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (“UU Ketenagakerjaan”), pada dasarnya pekerja perempuan (“Karyawati”) mendapatkan perlindungan atau hak khusus untuk menjamin keamanan, keselamatan, dan kesehatan Karyawati di lingkungan Pekerjaan. Perlindungan atau hak khusus tersebut wajib diberikan oleh Perusahaan, yang meliputi perlindungan atau hak terhadap Karyawati Hamil, Melahirkan, Haid, hingga kewajiban untuk memberikan fasilitas khusus apabila Perusahaan mempekerjakan wanita pada jam kerja tertentu.

Hak Khusus bagi Karyawati Hamil, Melahirkan, dan Haid

Sebagaimana tercantum dalam peraturan perundang-undangan, pada dasarnya Karyawati Hamil, Melahirkan dan Haid diberikan suatu hak khusus yang pada pokoknya memberikan kesempatan kepada Karyawati untuk tidak wajib bekerja pada saat-saat tersebut, bahkan Perusahaan wajib memberikan kesempatan waktu bagi Karyawati untuk dapat menyusui anaknya selama waktu kerja. Hal tersebut pada dasarnya telah diatur dalam Pasal 81, Pasal 82, dan Pasal 83 yang pada pokoknya mengatur hal sebagai berikut :

A.      Pasal 81 UU Ketenagakerjaan

“Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid”

B.      Pasal 82 UU Ketenagakerjaan

Ayat 1
“Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan”

Ayat 2
“Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan”

C.      Pasal 83 UU Ketenagakerjaan

“Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja”

Meskipun Karyawati diberikan hak untuk tidak wajib bekerja pada saat Hamil, Melahirkan dan Haid, dalam hal ini Perusahaan tetap memiliki kewajiban untuk membayar Upah Pekerja pada saat-saat tersebut yang didasarkan pada Pasal 84, yang pada pokoknya menyatakan bahwa setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat pada masa haid dan pada masa melahirkan berhak mendapat upah penuh.

Lebih lanjut, berkaitan dengan upah Karyawati pada masa haid, dalam hal ini ketentuan mendapat upah penuh tersebut di atas, kembali dipertegas dalam Pasal 93 ayat 2 huruf b j.o Pasal 94 ayat 1 UU Ketenagakerjaan yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut :

Pasal 93 ayat 1 UU Ketenagakerjaan
“Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan”

Pasal 93 ayat 2 huruf b UU Ketenagakerjaan
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan.

Adapun, selain memberikan hak untuk tidak wajib bekerja pada saat masa Hamil, Melahirkan, dan Haid, UU Ketenagakerjaan memberikan perlindungan lainnya bagi Karyawati hamil khususnya perlindungan berupa memberikan batas waktu kerja tertentu, sebagaimana diatur dalam Pasal 76 UU Ketenagakerjaan, yang akan diuraikan lebih lanjut pada penjelasan di bawah ini.

Perlindungan atau Hak Khusus mengenai Waktu Kerja bagi Karyawati

Pada dasarnya, peraturan perundang-undangan telah menentukan Waktu Kerja yang wajib dipatuhi oleh Perusahaan untuk ditetapkan kepada seluruh pekerja, dengan ketentuan Waktu Kerja berdasarkan Pasal 77 UU Ketenagakerjaan yaitu sebagai berikut :
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

Akan tetapi, jam kerja atas pelaksanaan Waktu Kerja sebagaimana dimaksud di atas, tidak ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, sehingga kewenangan menentukan jam kerja ada pada Perusahaan itu sendiri. Dalam sektor tertentu, pada dasarnya jam kerja dapat ditentukan untuk jam kerja pagi, siang, ataupun malam sesuai dengan kebutuhan kegiatan operasional pada kegiatan usaha tersebut. Terlebih, pada sektor tertentu yang menerapkan jam kerja dengan sistem pembagian shift dalam hal ini sangat dimungkinkan Perusahaan memberikan jam kerja bagi Karyawati untuk bekerja pada jam kerja malam.

Meskipun demikian, UU Ketenagakerjaan tetap memberikan perlindungan bagi Karyawati yang bekerja pada jam kerja malam, dengan memberikan batasan waktu atau fasilitas khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 76 UU Ketenagakerjaan, yaitu sebagai berikut :
(1) Pekerja/buruh yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00.
(2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan, dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib :
a. Memberikan makanan dan minuman bergizi; dan
b. Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
(4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.

Atas ketentuan tersebut, dalam hal ini dapat dipahami bahwa pada dasarnya Perusahaan dilarang untuk mempekerjakan Karyawati pada jam kerja pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 khususnya bagi anak di bawah umur, dan Karyawati hamil. Apabila Perusahaan mempekerjakan Karyawati yang bukan merupakan anak dibawah umur atau Karyawati hamil pada jam kerja malam, dalam hal ini Perusahaan wajib memberikan fasilitas tertentu bagi Karyawati tersebut, diantaranya dengan memberikan makanan dan minuman bergizi, serta menyediakan angkutan antar jemput bagi Karyawati yang bersangkutan.

Perlindungan Kesusilaan Karyawati di Lingkungan Pekerjaan

Sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat 3 huruf b UU Ketenagakerjaan, apabila Perusahaan mempekerjakan Karyawati pada jam kerja malam, dalam hal ini Perusahaan wajib menjamin dan menjaga kesusilaan serta keamanan Karyawati selama di tempat kerja. Pada dasarnya, perlindungan yang berkaitan dengan asusila sebagaimana dimaksud di atas merupakan hak yang harus didapat oleh seluruh Karyawan ataupun Karyawati di lingkungan pekerjaan pada saat kapanpun, sebagaimana perlindungan tersebut telah diatur dalam Pasal 86 ayat 1 UU Ketenagakerjaan, yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut :

“Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas :
a. Keselamatan dan kesehatan kerja;
b. Moral dan kesusilaan; dan
c. Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nila-nilai agama.”

Perlindungan kesusilaan sebagaimana dimaksud di atas, pada dasarnya bertujuan untuk menghindari terjadinya suatu tindakan pelecehan seksual atau tindakan kekerasan seksual di lingkungan Pekerjaan. Meskipun pada dasarnya UU Ketenagakerjaan tidak mengatur secara khusus dan lebih lanjut berkaitan dengan pelecehan seksual atau tindakan kekerasan seksual di lingkungan Pekerjaan, peraturan perundang-undangan di Indonesia telah mengkategorikan tindakan pelecehan dan kekerasan seksual tersebut sebagai suatu tindak pidana khusus, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (“UU Kekerasan Seksual”).

Dalam UU Kekerasan Seksual, secara umum Tindak Pidana Kekerasan Seksual yaitu terdiri atas :
a. Pelecehan Seksual Fisik;
b. Pelecehan Seksual Non-Fisik;
c. Pemaksaan Kontrasepsi;
d. Pemaksaan Sterilisasi;
e. Pemaksaan Perkawinan;
f. Penyiksaan Seksual;
g. Perbudakan Seksual; dan
h. Kekerasan Seksual berbasis elektronik.

Adapun, UU Kekerasan Seksual mengkategorikan lebih lanjut Tindak Pidana Kekerasan Seksual secara spesifik, yang terdiri atas :
a. Perkosaan;
b. Perbuatan Cabul;
c. Persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap anak dan/atau eksploitasi seksual terhadap Anak;
d. Perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban;
e. Pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual;
f. Pemaksanaan pelacuran;
g. Tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual;
h. Kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga;
i. Tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual; dan
j. Tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud di atas, pada dasarnya sangat dimungkinkan terjadi dimanapun, baik di Lingkungan Keluarga, Lingkungan Rumah Tangga, Lingkungan Akademisi Pendidikan, hingga Lingkungan Kerja. Sebagai contoh yang berkaitan dengan hal tersebut, Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang terjadi di Lingkungan Kerja dan sedang marak diperbincangkan salah satunya yaitu tindakan atasan yang mensyaratkan pekerja wanitanya untuk melakukan pelacuran agar pekerja wanita tersebut dapat memperoleh perpanjangan hubungan kerja dengan perusahaan.

Pada dasarnya, UU Kekerasan Seksual telah menetapkan sanksi pidana terhadap tiap-tiap tindakan pelecehan dan/atau kekerasan seksual yang terjadi dimanapun dan pada siapapun. Terlebih, apabila tindakan tersebut di atas dilakukan dengan memenuhi unsur lainnya, maka unsur tersebut dapat dianggap sebagai unsur pemberat dalam penetapan sanksi pidana kepada pelaku tindak pidana Kekerasan Seksual. Berdasarkan Pasal 15 UU Kekerasan Seksual, unsur sebagaimana dimaksud di atas, di antaranya yaitu meliputi unsur sebagai berikut (“Unsur Pemberat”):
1) Dilakukan dalam lingkup keluarga;
2) Dilakukan oleh pemberi kerja;
3) Dilakukan oleh atasan atau pengurus terhadap orang yang dipekerjakan atau bekerja dengannya;
4) Dilakukan lebih dari 1 (satu) kali atau dilakukan terhadap lebih dari 1 (satu) orang;
5) Dilakukan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan bersekutu;
6) Dilakukan terhadap Anak;
7) Dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik;
8) Mengakibatkan korban mengalami luka berat, berdampak psikologis berat, atau penyakit menular; dan
9) Unsur-unsur lainnya yang diatur dalam UU Kekerasan Seksual.

Sanksi Tindakan Asusila atau Pelecehan atau Kekerasan Seksual berdasarkan UU Ketenagakerjaan ataupun UU Kekerasan Seksual

A.     Sanksi Berdasarkan UU Ketenagakerjaan

UU Ketenagakerjaan 13/2003 pada dasarnya tidak mengatur lebih lanjut mengenai penetapan sanksi apabila terjadi tindakan asusila di lingkungan kerja, yang dilakukan oleh pekerja, rekan kerja, ataupun atasan dan pemberi kerja. Akan tetapi, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Isitrahat dan Pemutusan Hubungan Kerja (“PP 35/2021”), khususnya penjelasan Pasal 52 ayat 2 mengkategorikan Perbuatan Asusila sebagai Pelanggaran bersifat mendesak.

Pada dasarnya, untuk melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap Karyawan, berdasarkan butir 3 huruf a Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 tentang Putusan Mahkamah Konstitusi atas Hak Uji Materiil UU Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“SE MENAKERTRANS”), dalam hal ini pemutusan hubungan kerja atas dasar pelanggaran atau kesalahan berat yang dilakukan oleh Karyawan yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan apabila terhadap pelanggaran atau kesalahan berat Karyawan tersebut telah ada putusan hakim pidana yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Akan tetapi, PP 35/2021 kembali mempertegas ketentuan pemutusan hubungan kerja atas dasar pelanggaran berat, yang pada pokoknya menyatakan bahwa apabila Karyawan melakukan pelanggaran yang bersifat mendesak, dalam hal ini Perusahaan dapat secara langsung melakukan pemutusan hubungan kerja kepada Karyawan yang bersangkutan tanpa ada putusan hakim pidana, dengan catatan bahwa pelanggaran yang bersifat mendesak tersebut telah diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.

Atas ketentuan tersebut, dalam hal ini dapat dipahami bahwa apabila salah satu Pekerja terindikasi melakukan Perbuatan Asusila, dan Perusahaan bermaksud untuk melakukan pemutusan hubungan kerja secara langsung kepada Karyawan yang bersangkutan, dalam hal ini Perusahaan wajib terlebih dahulu memastikan bahwa pelanggaran berat atas perbuatan asusila tersebut telah secara nyata tercantum dalam Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja ataupun Perjanjian Kerja Bersama. Lebih lanjut, apabila Perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja kepada Karyawan yang bersangkutan atas dasar hal tersebut di atas, dalam hal ini Perusahaan tidak memiliki kewajiban untuk membayarkan Uang Hak berupa Uang Pesangon dan Uang Penghargaan Masa Kerja, sebagai hak PHK yang seharusnya diperoleh berdasarkan peraturan perundang-undangan.

B.     Sanksi Pidana Berdasarkan UU Kekerasan Seksual

1)  Sanksi Pidana atas Perbuatan Seksual Non-Fisik

Sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 UU Kekerasan Seksual, apabila seseorang melakukan perbuatan asusila atau perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat atau martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya, dipidana karena pelecehan seksual nonfisik, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).

2)  Sanksi Pidana atas Perbuatan Pelecehan Seksual Fisik

Sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 UU Kekerasan Seksual, apabila seseorang melakukan perbuatan asusila atau perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksus merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas, dan/atau kesusilaannya yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana lain yang lebih berat dengan pidana penjara paling lama 4 (Empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

3)  Sanksi Pidana Tambahan dengan Unsur Pemberat

Apabila Perbuatan Asusila Secara Fisik ataupun Non Fisik tersebut di atas, dilakukan dengan unsur pemberat sebagaimana yang telah diuraikan di atas, dalam hal ini UU Kekerasan Seksual memberikan sanksi tambahan sebanyak 1/3 dari jumlah sanksi yang telah ditentukan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 UU Kekerasan Seksual.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *