1. Pengaturan Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Lama
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia yang diadopsi dari hukum belanda Wetboek Van Strafrecht dan masih berlaku sampai dengan saat ini (“KUHP Lama”) tidak mengatur secara khusus mengenai Tindak Pidana Korporasi. Pada dasarnya, Tindak Pidana Korporasi yang dikenal saat ini, tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yang diantaranya meliputi peraturan perundang-undangan tentang Tindak Pidana Korupsi dan peraturan perundang-undangan tentang Lingkungan Hidup.
Akan tetapi, mengingat kedua peraturan perundang-undangan tersebut di atas merupakan peraturan perundang-undangan dengan lingkup khusus Tindak Pidana Korupsi dan Lingkungan Hidup, dalam hal ini dapat dipahami bahwa pertanggungjawaban pidana Korporasi yang diatur dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut, khusus hanya pertanggungjawaban atas tindak pidana Korupsi dan tindak pidana Lingkungan Hidup.
Meskipun demikian, dalam rangka penegakan hukum atas tindak pidana yang dilakukan oleh Korporasi, pada dasarnya Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi (“PERMA 13/2016”). Adapun, yang dimaksud dengan Korporasi dalam PERMA 13/2016 yaitu suatu kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir, baik merupakan badan hukum maupun non-badan hukum.
Sementara itu, Tindak Pidana Korporasi yaitu merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan kerja, atau hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi di dalam maupun di luar Lingkungan Korporasi. Dalam melakukan penjatuhan pidana, pada dasarnya hakim dapat menjatuhkan pidana terhadap Korporasi atau Pengurus, atau Korporasi dan Pengurus.
Apabila Korporasi menjadi tersangka atau terdakwa, dalam hal ini Korporasi wajib menunjuk Pengurus untuk bertindak mewakili Korporasi dalam penyidikan hingga sidang Pengadilan. Adapun, apabila pada saat yang bersamaan Pengurus Korporasi ditetapkan menjadi tersangka, dalam hal ini Pengurus yang ditunjuk untuk bertindak mewakili Korporasi tersebut yaitu Pengurus yang telah ditetapkan menjadi tersangka. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 15 ayat 1 PERMA 13/2016 yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut :
“Dalam hal Korporasi diajukan sebagai tersangka atau terdakwa dalam perkara yang sama dengan Pengurus, maka Pengurus yang mewakili Korporasi adalah Pengurus yang menjadi tersangka atau terdakwa.”
Sehingga, dalam hal ini dapat dipahami bahwa apabila Korporasi dan Pengurus ditetapkan menjadi tersangka atau terdakwa dalam Tindak Pidana Korporasi, Pengurus yang bersangkutan bertindak untuk 2 (dua) Subjek Hukum, yaitu untuk dirinya sendiri dan untuk Korporasi.
Pertanggungjawaban Pidana atas Tindak Pidana Korporasi
Sebagaimana telah diuraikan di atas, penjatuhan pidana sebagai bentuk pertanggungjawaban atas Tindak Pidana Korporasi dapat dijatuhkan kepada Korporasi, Pengurus, atau Korporasi dan Pengurus. Meskipun demikian, dalam hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa pertanggungjawaban pidana atas Tindak Pidana Korporasi dapat dijatuhkan kepada pihak lain yang secara nyata turut serta dalam melakukan Tindak Pidana tersebut. Keturutsertaan pihak lain dalam Tindak Pidana Korporasi, pada dasarnya diatur dalam Pasal 169 KUHP, yang pada pokoknya menyatakan :
Pasal 169 ayat 1 KUHP
“Turut serta dalam perkumpulan yang bertujuan melakukan kejahatan, atau turut serta dalam perkumpulan lainnya yang dilaranG oleh aturan-aturan umum, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”
Pasal 169 ayat 2 KUHP
“Turut serta dalam perkumpulan yang bertujuan melakukan pelanggaran, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Pasal 169 ayat 3 KUHP
“Apabila Turut Serta sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 Pasal 169 KUHP dilakukan oleh pendiri atau pengurus Korporasi, dalam hal ini besaran pidana yang dijatuhkan kepada pengurus atau pendiri Korporasi yang bersangkutan dapat ditambah sepertiga dari total ancaman tersebut di atas.”
Apabila mengacu pada ketentuan Pasal 169 KUHP, pada dasarnya pertanggungjawaban tersebut di atas merupakan pertanggungjawaban pidana yang dijatuhkan kepada pihak-pihak yang secara nyata memenuhi unsur turut serta dalam suatu tindak pidana Perkumpulan (Korporasi). Sementara itu, terhadap Tindak Pidana Korporasi yang secara nyata dilakukan oleh Korporasi dan/atau Pengurus Korporasi, pada dasarnya PERMA 13/2016 telah mengatur 2 (dua) jenis Pertanggungjawaban Pidana, yang diantaranya meliputi Pidana Pokok dan Pidana Tambahan.
Pidana Pokok yang dimaksud dalam PERMA 13/2016 yaitu merupakan pidana denda. Sedangkan, yang dimaksud pidana tambahan yaitu merupakan pidana pencabutan hak-hak tertentu,perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 KUHP Lama. Selain itu, Korporasi yang melakukan Tindak Pidana Korporasi pada dasarnya dapat dimintakan pertanggungjawaban berupa Ganti Rugi atau Restitusi atas kerugian yang dialami oleh korban akibat tindak pidana yang dilakukan oleh Korporasi, yang dapat diajukan dengan melakukan gugatan secara perdata.
2. Pengaturan Tindak Pidana Baru (KUHP)
Pada awal tahun 2023, Pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP Baru”), yang mencabut dan menggantikan KUHP Lama terhitung tanggal 2 Januari 2026. Berkaitan dengan Tindak Pidana Korporasi yang semula tidak diatur dalam KUHP Lama, KUHP Baru telah mengatur secara khusus Tindak Pidana Korporasi sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat 1 KUHP Baru, yang pada pokoknya menyatakan bahwa “Korporasi merupakan Subjek Tindak Pidana”. Lebih Lanjut, yang dimaksud dengan Korporasi dalam KUHP Baru, diantaranya yaitu meliputi :
1) Perseroan Terbatas;
2) Yayasan;
3) Koperasi;
4) Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
5) Badan Usaha Milik Daerah atau yang disamakan dengan itu;
6) Perkumpulan berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum;
7) Firma; dan
8) Persekutuan Komanditer atau yang disamakan dengan itu.
(untuk selanjutnya dapat disebut sebagai “Perusahaan”).
Unsur-unsur Tindak Pidana Korporasi dalam KUHP Baru
Sama halnya dengan unsur Tindak Pidana Korporasi dalam KUHP Lama, KUHP Baru juga menyatakan bahwa suatu Tindak Pidana dapat dikatakan sebagai Tindak Pidana Korporasi apabila tindakan tersebut dilakukan oleh pengurus Perusahaan, karyawan yang bekerja pada Perusahaan atau pihak lainnya yang memiliki kepentingan untuk dan atas nama Perusahaan, baik yang bertindak secara langsung ataupun yang melakukan pengendalian terhadap Perusahaan tersebut.
Akan tetapi, mengingat KUHP Baru mengatur secara khusus tentang Tindak Pidana Korporasi, dalam hal ini unsur-unsur Tindak Pidana Korporasi tersebut di atas diuraikan dan diatur lebih lanjut dalam pasal 46 KUHP Baru dan pasal 47 KUHP Baru, yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut :
Pasal 46 KUHP Baru
“Tindak Pidana Korporasi merupakan Tindak Pidana yang dilakukan oleh pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi Korporasi atau orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain bertindak untuk dan atas nama Korporasi atau bertindak demi kepentingan Korporasi dalam lingkup usaha atau kegiatan Korporasi tersebut, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama.”
Pasal 47 KUHP Baru
“Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 46, Tindak Pidana oleh Korporasi dapat dilakukan oleh pemberi perintah, pemegang kendali, atau pemilik manfaat Korporasi yang berada di luar struktur organisasi, tetapi dapat mengendalikan Korporasi.”
Adapun, yang dimaksud dengan kepentingan untuk dan atas nama Perusahaan, yaitu Tindak Pidana tersebut dilakukan dalam lingkup atau kegiatan usaha yang tercantum dalam anggaran dasar atau ketentuan lainnya yang berlaku bagi Perusahaan dan/atau dilakukan untuk menguntungkan Perusahaan secara melawan hukum.
Sama halnya seperti pertanggungjawaban pidana yang diatur dalam PERMA 13/2016, pada dasarnya pertanggungjawaban atas Tindak Pidana Korporasi dapat dikenakan terhadap Perusahaan, pengurus Perusahaan, pemberi perintah, pemegang kendali dan/atau kepada pihak yang secara nyata terbukti dikategorikan sebagai pemilik manfaat pada Perusahaan yang bersangkutan. Oleh karenanya, dalam hal ini dapat dipahami bahwa penuntutan atas suatu Tindak Pidana Korporasi berdasarkan KUHP Baru dapat dijatuhkan terhadap Perusahaan secara sendiri, Perusahaan dan pengurusnya, atau dijatuhkan hanya terhadap pengurus Perusahaan.
Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi
Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 56 KUHP Baru, untuk dapat meminta pertanggungjawaban pidana atas Tindak Pidana Korporasi yang dilakukan oleh Perusahaan, pada dasarnya pertanggungjawaban tersebut dapat dikenakan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut, yaitu :
1) Tingkat kerugian atau dampak yang ditimbulkan;
2) Tingkat keterlibatan pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional pada Perusahaan dan/atau peran pemberi perintah, pemegang kendali dan/atau pemilik manfaat Perusahaan;
3) Lamanya Tindak Pidana yang telah dilakukan;
4) Frekuensi Tindak Pidana oleh Korporasi;
5) Bentuk kesalahan Tindak Pidana;
6) Keterlibatan Pejabat;
7) Nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat;
8) Rekam jejak korporasi dalam melakukan usaha atau kegiatan;
9) Pengaruh pemidanaan terhadap Korporasi; dan/atau
10) Kerjasama Perusahaan dalam penangangan Tindak Pidana.
Jenis pertanggungjawaban pidana yang diatur dalam KUHP Baru, pada dasarnya serupa dengan jenis pertanggungjawaban pidana yang diatur dalam PERMA 13/2016, yaitu pertanggungjawaban Pidana Pokok berupa denda dan pertanggungjawaban berupa Pidana Tambahan. Akan tetapi, apabila mengacu pada ketentuan KUHP Lama ataupun PERMA 13/2016, pada dasarnya tidak diatur secara terperinci mengenai besaran dari pidana denda tersebut. Sementara itu, KUHP Baru telah menetapkan besaran pidana denda sebagaimana tercantum dalam Pasal 121 KUHP Baru, dengan besaran sesuai dengan ancaman pidana dan kategori denda sebagai berikut :
Jenis Pidana/Ancaman Pidana | Kategori Denda | Nominal |
Pidana Korporasi | ≥ Kategori IV | Rp.200.000.000,- |
Apabila Tindak Pidana Pokok yang dilakukan oleh Perusahaan diancam pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun. | ≤ Kategori IV | Rp.200.000.000,- |
Apabila Tindak Pidana Pokok yang dilakukan oleh Perusahaan diancam pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun. | ≤ Kategori VII | Rp.5.000.000.000,- |
Apabila Tindak Pidana Pokok yang dilakukan oleh Perusahaan diancam pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun. | ≤ Kategori VIII | Rp.50.000.000.000,- |
Berdasarkan hal tersebut di atas, dalam hal ini dapat dipahami bahwa besaran denda yang harus dibayarkan oleh pelaku pada Tindak Pidana Korporasi, yaitu merupakan besaran denda yang didasarkan pada ancaman pidana yang diatur dalam Tindak Pidana Pokok yang terlebih dahulu dilakukan dan memiliki kesinambungan dengan Tindak Pidana Korporasi tersebut.
Selain itu, KUHP Baru juga telah mengatur secara terperinci mengenai pidana tambahan yang dapat dijatuhkan kepada pelaku Tindak Pidana Korporasi, apabila Perusahaan yang bersangkutan secara nyata menyebabkan kerugian bagi pihak lainnya. Adapun, sesuai dengan ketentuan pada pasal 120 KUHP Baru, pertanggungjawaban pidana tambahan yang dapat dimintakan terhadap Perusahaan dalam Tindak Pidana Korporasi yaitu sebagai berikut :
a. Pembayaran Ganti Rugi;
b. Perbaikan akibat Tindak Pidana;
c. Pelaksanaan kewajiban yang telah dilalaikan;
d. Pemenuhan kewajiban adat;
e. Pembiayaan pelatihan kerja;
f. Perampasan Barang atau keuntungan yang diperoleh dari Tindak Pidana;
g. Pengumuman putusan pengadilan;
h. Pencabutan izin tertentu untuk jangka waktu maksimal 2 (dua) tahun;
i. Larangan permanen untuk melakukan perbuatan tertentu dalam jangka waktu maksimal 2 (dua) tahun;
j. Pembekuan seluruh atau sebagian kegiatan usaha Perusahaan untuk jangka waktu maksimal 2 (dua) tahun; dan
k. Pembubaran Perusahaan.
Sesuai dengan istilah “pidana tambahan”, dalam hal ini dapat dipahami bahwa pertanggungjawaban pada butir a sampai dengan butir k pasal 120 KUHP Baru tersebut di atas, pada dasarnya dikenakan terhadap Perusahaan atau pengurus dan pihak lainnya yang berkepentingan pada Perusahaan, setelah Perusahaan yang bersangkutan dikenakan pidana pokok. Sehingga, dengan adanya pidana tambahan, dalam hal ini secara nyata tidak menghapus kewajiban Perusahaan untuk melakukan pertanggungjawaban berupa pidana denda sebagai bentuk pidana pokok atas perbuatan Tindak Pidana yang dilakukannya.
Apabila Perusahaan tidak melakukan pertanggungjawaban atau tidak membayar pidana denda tersebut, dalam hal ini kekayaan Perusahaan yang bersangkutan akan disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi pidana denda yang tidak dibayar, hingga pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Perusahaan. Bahkan, akibat hukum berupa penyitaan dan pelelangan kekayaan Perusahaan tersebut di atas juga berlaku apabila Perusahaan tidak memenuhi pertanggungjawaban pidana tambahan yang dimaksud pada butir a sampai dengan butir e pasal 120 ayat 1 KUHP Baru.
Akan tetapi, meskipun KUHP Baru telah diterbitkan dan disahkan pada periode bulan Januari 2023, dalam hal ini KUHP Baru tersebut belum memiliki kekuatan hukum yang mengikat, mengingat sebagaimana tercantum dalam Peraturan Peralihan bahwa KUHP Baru akan berlaku dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diterbitkannya. Sehingga, dalam hal ini dapat dipahami bahwa ketentuan yang berlaku berkaitan Tindak Pidana Korporasi yaitu masih mengacu pada Tindak Pidana Korporasi yang diatur dalam KUHP Lama ataupun PERMA 13/2016.
3. Contoh Putusan dan Pertimbangan Hakim atas Tindak Pidana Korporasi
A. Putusan Nomor 113/Pid.B/LH/2016/PN.Pwk (“Putusan I”)
Putusan I pada dasarnya merupakan putusan Pengadilan Negeri Purwakarta yang menjatuhkan pidana kepada suatu Korporasi, yaitu PT Indo Bharat Rayon. Penjatuhan Pidana tersebut di atas, pada dasarnya dijatuhkan karena PT Indo Bharat Rayon selaku Korporasi terbukti bersalah telah melakukan tindak pidana lingkungan hidup akibat tidak melakukan pengolahan terhadap limbah B3 yang timbul atas kegiatan usaha pertambangan Batu Bara yang dilakukan oleh PT Indo Bharat Rayon. Sehingga dalam hal ini dapat dipahami bahwa Tindak Pidana pada Putusan I ini merupakan Tindak Pidana Korporasi.
Sesuai dengan prosedur dalam peraturan perundang-undangan yang telah diuraikan di atas, PT Indo Bharat Rayon menunjuk salah satu pengurusnya yang bertindak sebagai Direktur Keuangan untuk mewakili penyelesaian permasalahan pidana PT Indo Bharat Rayon di muka persidangan. Meskipun penyelesaian permasalahan pidana PT Indo Bharat Rayon diwakili oleh salah satu pengurusnya, akan tetapi dalam memberikan putusan dan penjatuhan pidana hakim tetap menyatakan bahwa yang menjadi terpidana dalam Tindak Pidana pencemaran lingkungan tersebut yaitu PT Indo Bharat Rayon, selaku Korporasi yang menjalankan kegiatan usaha dan menyebabkan pencemaran tersebut.
Penjatuhan Pidana terhadap PT Indo Bharat Rayon yang telah diputus oleh hakim dalam Putusan I tersebut yaitu berupa pidana pokok denda sebesar Rp.1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan pidana tambahan untuk melakukan pemulihan lingkungan dengan melakukan pembersihan limbah B3 yang tertimbun dan terdampak akibat kegiatan usaha PT Indo Bharat Rayon. Apabila PT Indo Bharat Rayon tidak melaksanakan pidana pokok sebagaimana telah ditetapkan, maka Penuntut Umum akan melakukan perampasan aset PT Indo Bharat Rayon untuk kemudian dijual sebagai bentuk pembayaran pidana denda tersebut.
Selain hakim menetapkan PT Indo Bharat Rayon sebagai terpidana, hakim dalam putusannya juga menjatuhkan pidana kepada Pengurusnya berupa pidana penjara 1 (satu) tahun. Sehingga, atas putusan terhadap pengurus PT Indo Bharat Rayon sebagaimana dimaksud di atas, dapat dipahami bahwa penjatuhan pidana terhadap pengurus dalam suatu Tindak Pidana Korporasi pada dasarnya sangat memungkinkan, terlebih apabila pengurus yang bersangkutan terbukti turut serta melakukan dan berkontribusi dalam pelaksanaan Tindak Pidana tersebut.
B. Putusan Nomor 284/Pid.Sus/2014/PN.Cjr (“Putusan II”)
Putusan II pada dasarnya merupakan putusan Pengadilan Negeri Cianjur yang menjatuhkan pidana kepada orang Perorangan yaitu H Dadang Effendi yang ditetapkan sebagai terpidana. Akan tetapi, penjatuhan pidana kepada terpidana tersebut di atas, didasarkan atas perbuatan atau suatu tindakan untuk keperluan Korporasi yang bergerak di bidang pertambangan, yaitu PT Cipta Karya Mandiri.
Tindakan untuk keperluan dan kepentingan Korporasi sebagaimana dimaksud di atas pada dasarnya dibuktikan dengan salah satu barang bukti berupa Dokumen Surat Turunan Perjanjian Nomor 3 tertanggal 3 April 2011 tentang Kerjasama antara PT Cipta Karya Mandiri dengan pemilik Izin Pemegang Rakyat. Adapun, dalam hal ini terpidana hanya merupakan Direktur yang bertindak mewakili untuk dan atas nama PT Cipta Karya Mandiri.
Dalam perjalanannya, diketahui bahwa terpidana membuka lahan pertambangan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan PT Cipta Karya Mandiri, tanpa mengantongi Izin Usaha Pertambangan. Meskipun pembukaan lahan pertambangan tersebut dilakukan untuk kepentingan Korporasi, akan tetapi hakim berpendapat bahwa terpidana merupakan pelaku dari Tindak Pidana tersebut.
Atas hal tersebut, dalam Putusan II hakim menetapkan bahwa H Ddang Effendi selaku Direktur dari PT Cipta Karya Mandiri telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana berupa “Melakukan Usaha Pertambangan Tanpa Izin Usaha Pertambangan (IUP)”. Oleh karenanya, atas hal tersebut terpidana dijatuhkan pidana penjara selama 6 (enam) bulan dengan ketentuan tidak usah dijalani, kecuali apabila di kemudian hari terpidana terbukti melakukan tindak pidana lain. Adapun, selain penetapan pidana penjara, hakim juga memutuskan bahwa terpidana dikenakan pidana denda sebesar Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), yang diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan apabila terpidana tidak membayarkan denda tersebut.
Sehingga, atas Putusan II sebagaimana dimaksud di atas dapat dipahami bahwa meskipun suatu tindak pidana dilakukan untuk kepentingan Korporasi, dalam hal ini Pengurus yang bersangkutan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana secara pribadi.