Skip to content
Home » Pengalihan Hak Kepemilikan atas Tanah Adat kepada Perseorangan

Pengalihan Hak Kepemilikan atas Tanah Adat kepada Perseorangan

  • by

Negara Indonesia merupakan Negara yang terdiri dari berbagai ragam suku dan budaya, dimana masing – masing memiliki kebudayaan yang berlaku secara turun – temurun atau yang dapat dikenal dengan Adat Istiadat. Atas hal tersebut, masyarakat Indonesia yang lahir dan hidup di dalam kebudayaan atau yang dapat disebut sebagai Masyarakat Adat, biasanya memiliki suatu wilayah yang diakui sebagai warisan dari leluhurnya dan harus dijaga kelestariannya.

Oleh karenanya, peraturan perundang – undangan yang berlaku di Indonesia, menyelaraskan ketentuan – ketentuan yang berkaitan untuk tetap sejalan dengan ketentuan hukum adat, dengan maksud dan tujuan untuk menjaga keberadaan wilayah dimana tempat Masyarakat Adat tersebut hidup dan bertempat tinggal untuk sebagai suatu wilayah adat atau dikenal dengan istilah Tanah Adat.

Namun, seiring berjalannya waktu kepemilikan atas suatu Tanah Adat banyak dimiliki oleh Masyarakat Adat itu sendiri, akan tetapi diakui sebagai tanah milik perseorangan. Hal tersebut jelas tidak sejalan dengan norma adat yang bertujuan untuk menjaga kelestarian tanah adat dari leluhurnya agar dapat diwariskan secara turun temurun.

Lantas, bagaimana peraturan perundang – undangan yang berlaku di Indonesia berikut dengan hukum adat mengatur ketentuan yang dapat memitigasi kepunahan Tanah Adat? Atas hal tersebut, dalam hal ini kami bermaksud memaparkan Penelusuran Hukum (Legal Research) atas permasalahan tersebut.

1. Ketentuan Pengalihan Tanah Adat berdasarkan Undang – Undang Pokok Agraria

Di dalam Undang – Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (“UUPA”) berikut dengan peraturan pelaksanaannya yang diatur dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (“Permen 18/2019”), Tanah Adat yang memiliki keterkaitan erat dengan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat pada dasarnya dikenal sebagai Tanah Ulayat, yang didasarkan pada ketentuan Pasal 1 Ayat 3 Permen Agraria 18/2019 yang pada pokoknya menyatakan bahwa “Tanah Ulayat Masyarakat Adat adalah Tanah persekutuan yang berada di wilayah masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada.

Selain itu, Pasal 2 ayat 2 Permen Agraria 18/2019 menegaskan lebih lanjut bahwa suatu Tanah Adat atau Tanah Ulayat, dapat dikatakan masih ada apabila di atas dan/atau lingkungan tersebut memenuhi kriteria sebagai berikut :

  1. Terdapat masyarakat dan lembaga Hukum Adat;
  2. Wilayah tempat Hak Ulayat berlangsung;
  3. Hubungan, keterkaitan, dan ketergantungan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan wilayahnya; dan
  4. Kewenangan untuk mengatur secara bersama-sama pemanfaatan Tanah di wilayah Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan, berdasarkan hukum adat yang masih berlaku dan ditaati masyarakatnya.

Lebih lanjut, Pasal 2 ayat 3 Permen Agrari 18/2019, mengatur bahwa suatu Tanah Ulayat dianggap masih ada apabila :

  1. Secara nyata masih hidup baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional;
  2. Sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan
  3. Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

Atas Tanah Ulayat tersebut, masyarakat adat diberikan suatu Hak Ulayat dimana sesuai dengan ketentuan Permen 18/2019, Hak Ulayat Masyarakat Adat yaitu suatu hak yang bersifat komunal untuk menguasai, mengelola, memanfaatkan, serta melestarikan wilayah adatnya sesuai dengan tata nilai dan hukum adat yang berlaku.

Lebih lanjut, Pasal 3 UUPA 5/1960 menegaskan bahwa “Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Dengan mengacu pada ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dalam hal ini Hak Ulayat terhadap Tanah Ulayat pada dasarnya bertitik tumpu terhadap pelestarian tanah adat itu sendiri. Bahkan, di dalam Pasal 42 Ayat 3 Peraturan Menteri Agraria Nomor 16 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Agraria tentang Pendaftaran Tanah (“Permen Agraria 16/2021”) diatur bahwa Tanah Ulayat milik Masyarakat Adat tidak diperbolehkan untuk dilakukan pemecahan atas nama perorangan.

Mengenai ketentuan larangan pemecahan Hak Ulayat untuk atas nama perorangan dalam hal ini dapat dipahami bahwa larangan tersebut ditujukan untuk melestarikan wilayah tanah adat tersebut agar tetap ada dan tidak punah. Atas hal tersebut, Pasal 5 Ayat 3 Permen Agraria 18/2019 mengatur bahwa Tanah Adat atau Tanah Ulayat harus didaftarkan dan dicatat di dalam daftar tanah.

Namun, pengaturan mengenai pengalihan hak atas Tanah Ulayat sebagaimana dimaksud di atas pada dasarnya mengacu pada ketentuan di daerah Tanah Ulayat tersebut berada. Adapun, dalam penelusuran ini kami mengambil salah satu contoh aturan Tanah Adat yang berada di Provinsi Bali, dengan mengacu pada Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali (“Perda Bali 4/2019”).

2. Ketentuan Pengalihan Tanah Adat berdasarkan Hukum Adat

Sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, bahwa penelusuran hukum mengenai pengalihan tanah adat ini kami lakukan dengan mengambil salah satu contoh peraturan adat yang berlaku di Provinsi Bali, yaitu Perda Bali 4/2019.

Apabila mengacu pada ketentuan Perda Bali 4/2019, untuk dapat mengetahui bahwa tanah tersebut adalah bagian dari Tanah Adat, dalam hal ini tanah tersebut harus berada di wilayah Desa Adat, sebagaimana diakui oleh peraturan itu sendiri, khususnya yang tercantum dalam Lampiran Perda Bali 4/2019.

Apabila suatu wilayah tanah termasuk ke dalam wilayah Desa Adat, maka dalam hal ini setiap pengalihan hak kepemilikan atas tanah tersebut harus tunduk dan patuh terhadap ketentuan pengalihan hukum adat yang diatur dalam Perda Bali 4/2019 atau bahkan diatur dalam peraturan internal adat itu sendiri, yang dikenal sebagai awig – awig.

Dengan mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 8 Perda Bali 4/2019 yang dimaksud dengan Desa Adat adalah, “kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang memiliki wilayah, kedudukan, susunan asli, hak-hak tradisional, harta kekayaan sendiri, tradisi, tata krama pergaulan hidup masyarakat secara turun temurun dalam ikatan tempat suci (kahyangan tiga atau kahyangan desa), tugas dan kewenangan serta hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.”

Lebih lanjut, dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat pada Desa Adat, suatu Desa Adat wajib memenuhi 3 (tiga) unsur yang didasarkan pada konsep filosofi Hindu Tri Hita Karana, yang pada pokoknya terdiri dari Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan. Ketiga unsur pokok Desa Adat tersebut merupakan nilai-nilai kearifan adat istidat Bali, yang masing-masing memiliki makna sebagai berikut :

  • unsur Parahyangan memiliki makna hubungan harmonis antara Masyarakat Desa Adat dengan Tuhan Yang Maha Esa;
  • unsur Pawongan merupakan sistem sosial kemasyarakatan yang harmonis antar Masyarakat Desa Adat di wilayah Desa Adat; dan
  • unsur Palemahan merupakan sistem hubungan yang harmonis antara Masyarakat Desa Adat dengan Lingkungan di Wilayah Desa Adat. Terhadap unsur Palemahan pada dasarnya memiliki keterkaitan erat dengan keberlangsungan dan kemanfaatan Tanah Adat. Adapun, sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat 2 Perda Bali 4/2019 Palemahan Desa Adat meliputi objek tanah sebagai berikut :
  • Tanah Adat Milik Desa Adat (yang memiliki fungsi adat, keagamaan, tradisi, budaya, dan ekonomi); dan
  • Tanah Guna Kaya yang bersifat Komunal atau Individual (yang memiliki fungsi adat, keagamaan, tradisi, budaya, dan ekonomi bagi pemiliknya dengan tetap memperhatikan fungsi sosial hak atas tanah).

Desa Adat tidak dapat dipisahkan dengan Padruwen Desa Adat. Padruwen Desa Adat berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 33 Perda Bali 4/2019 adalah seluruh harta kekayaan Desa Adat baik yang bersifat immateriil maupun materiil. Padruwen Desa Adat yang bersifat inmateriil berupa sistem kepercayaan, nilai-nilai tradisi, adat, seni dan budaya, serta kearifan lokal yang dijiwai Agama Hindu. Sedangkan berdasarkan Ketentuan Pasal 55 ayat 3 Perda Bali 4/2019 Padruwen Desa Adat yang bersifat materiil dapat berupa:

  1. wewidangan Desa Adat;
  2. tanah Desa Adat;
  3. sumber daya alam;
  4. sumber ekonomi yang merupakan hak tradisional Desa Adat;
  5. kawasan suci, tempat suci, bangunan suci milik Desa Adat;
  6. bangunan-bangunan mili k Desa Adat;
  7. benda-benda yang bersifat religius magis;
  8. keuangan dan sarwa mulé; dan
  9. harta kekayaan materiil lainnya.

Terhadap Pengelolaan dan Pengaturan Padruwen Desa Adat atas Tanah Desa Adat tersebut dilakukan oleh Pengurus Desa Adat dan/atau lembaga yang ditunjuk sesuai dengan Awig-Awig (Peraturan Desa Adat) dan/atau Pararem Desa Adat (Peraturan Pelaksana Awig-Awig). Terhadap Padruwen tanah Desa Adat yang akan dilakukan pengalihan dan perubahan status Padruwen Desa Adat wajib mendapat persetujuan Paruman Desa Adat.

Sesuai dengan namanya, Tanah Adat Milik Desa Adat merupakan tanah yang dimiliki oleh Desa Adat dan didaftarkan atas nama Desa Adat itu sendiri. Berdasarkan penjelasan ketentuan Pasal 55 huruf b Perda Bali 4/2019 yang dimaksud dengan “tanah Desa Adat” adalah tanah milik Desa Adat, yang dikelola oleh Desa Adat tersebut, dan terdiri atas aset Tanah Kuburan (setra), Tanah Tempat Ibadah Pura (palaba), Tanah Pasar (tenten). Selain itu, terdapat pula Tanah Adat Desa Adat yang diserahkan pengelolaanya kepada Masyarakat Desa Adat (krama Desa Adat), seperti tanah Pekarangan Desa Adat dan tanah Ayahan Desa Adat.

Selain itu, Perda Bali 4/2019 juga mengatur tanah Adat berupa Tanah Guna Kaya, baik yang bersifat komunal atau individual. Tanah Guna Kaya pada dasarnya merupakan Tanah Hak Milik, yang memiliki fungsi adat, keagamaan, tradisi, budaya, dan ekonomi bagi pemiliknya dengan tetap memperhatikan fungsi sosial hak atas tanah.

3. Kesimpulan

Dengan mengacu pada ketentuan yang telah kami uraikan di atas, baik ketentuan dari UUPA maupun ketentuan hukum Adat Bali yang diatur dalam Perda Bali 4/2019, dalam hal ini dapat dipahami bahwa pada dasarnya kepemilikan atas tanah adat atau tanah ulayat tidak dapat dilakukan pemecahan menjadi kepemilikan perseorangan. Adapun, tiap – tiap ketentuan mengenai tindakan dan/atau perbuatan yang berkaitan dengan pengalihan tanah adat akan tetap mengacu pada hukum adat dimana tanah tersebut berada.

Namun, apabila mengacu salah satu contoh aturan hukum adat pada Adat Bali yang tercantum dalam Perda Bali 4/2019 pengalihan kepemilikan Tanah Adat, khususnya Tanah Adat dengan Jenis Guna Kaya yang memiliki fungsi adat, keagamaan, tradisi, budaya, dan ekonomi, tanah tersebut dapat didaftarkan kepemilikannya dengan dan atas nama desa adat itu sendiri, meskipun Tanah Guna Kaya merupakan Tanah Hak Milik dan bukan merupakan Tanah Desa Adat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *