Sebagaimana diketahui bersama, terkait upaya Pemerintah dalam melakukan pengawasan dan perlindungan terhadap Masyarakat atau Pelaku Usaha atas Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Negara Indonesia, melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (“BPJPH”) selaku badan yang memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan Jaminan Produk Halal (“JPH”) berdasarkan legitimasi Peraturan Perundang–Undangan, BPJPH memiliki tugas dan kewenangan untuk memastikan kewajiban kepemilikan sertifikasi halal produk yang dikenakan kepada pelaku usaha untuk mewujudkan perlindungan kehalalan produk bagi Masyarakat selaku konsumen.
Hal tersebut, sesuai dengan ketentuan Pasal 4 Undang – Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (“UU 33/2014”) yang pada pokoknya menyatakan bahwa “Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal”.
Atas ketentuan bunyi pasal tersebut, dalam hal ini dapat dipahami bahwa, barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat wajib bersertifikat halal, dengan pengecualian bahwa Produk yang sejatinya berasal dari bahan yang diharamkan dikecualikan untuk mendaftarkan sertifikat halal.
Sejalan dengan hal tersebut Pelaku Usaha memiliki kewajiban untuk mengajukan dan mendaftarkan permohonan Sertifikat Halal secara tertulis kepada BPJPH melalui sistem elektronik. Adapun berdasarkan hal tersebut permohonan pengajuan sertifikat halal sebelumnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelengaraan Bidang Jaminan Produk Halal (“PP 39/2021”) yang sekarang sudah dicabut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024 tentang Penyelenggaran Bidang Jaminan Produk Halal (“PP 42/2024”).
Berkaitan dengan pokok perihal di atas, melalui Legal Research ini kami bermaksud untuk menyampaikan perbedaan ketentuan antara PP 39/2021 dengan PP 42/2024 dengan pokok pembahasan ketentuan yang akan kami sampaikan yaitu meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Badan yang memiliki kewenangan menyelenggarakan Jaminan Produk Halal;
2. Prosedur pendaftaran permohonan sertifikat halal;
3. Jangka waktu keberlakuan sertifikat halal.
Berdasarkan hal tersebut berikut merupakan pemaparan perbandingan ketentuan mengenai kewajiban sertifikasi halal yang berlaku pada PP 39/2021 dengan perubahan ketentuan yang diatur dalam PP 42/2024 :
NO | PP 39/2021 | PP 42/2024 |
1. | Pasal 4 ayat 3 “Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH, dibentuk BPJPH yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri.” | Pasal 4 ayat 3 “Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH, dibentuk BPJPH yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri.” |
2. | Pasal 59 ayat 1 “Pelaku Usaha mengajukan permohonan Sertifikat Halal secara tertulis daam Bahasa Indonesia kepada BPJPH melalui sistem elektronik.” | Pasal 67 ayat 1 “Pelaku Usaha mengajukan permohonan Sertifikat Halal secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada BPJPH melalui sistem elektronik terintegrasi.” |
Catatan : | ||
Jangka Waktu Keberlakuan Sertifikasi Halal | ||
3. | Pasal 78 ayat 1 “BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal, berlaku selama 4 (empat) tahun.”
| Pasal 88 ayat 2 “Sertifikat Halal berlaku sejak diterbitkan oleh BPJPH dan tetap berlaku sepanjang tidak terdapat perubahan komposisi Bahan dan/atau PPH.”
|
4. | Pasal 82 ayat 1 jo ayat 2 “Sertifikat Halal wajib diperpanjang oleh pelaku Usaha dengan mengajukan perpanjangan Sertifikat Halal paling lambat 3 (tiga) bulan seberum masa berlaku Sertifikat Halal berakhir.” | Pasal 90 ayat 1 “Pelaku Usaha yang mengubah komposisi Bahan dan/atau PPH setelah mendapatkan Sertifikat Halal, wajib memperbarui Sertifikat Halal.” |
Catatan :
| ||
Tata Cara Pengajuan Sertifikasi Halal | ||
5. | Pasal 139 ayat 2 jo ayat 4 - “Penahapan Kewajiban bersertifikat halal untuk pertama kali terdiri atas: | Pasal 159 ayat 2 jo ayat 4 - “Penahapan Kewajiban bersertifikat halal untuk pertama kali terdiri atas: |
Catatan : | ||
Akibat Hukum Bagi Pelaku Usaha yang Tidak Memenuhi Sertifikasi Halal | ||
6. | Pasal 149 ayat 2 “Sanksi administratif yang dikenakan terhadap Pelaku Usaha berupa: | Pasal 170 ayat 2 “Sanksi administratif yang dikenakan terhadap Pelaku Usaha berupa: b. Denda administratif maksimal Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar Rupiah); |
Pada kesimpulannya, meskipun PP 39/2021 telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh PP 42/2024, akan tetapi dalam hal ini dapat dipahami bahwa tidak ada ketentuan sertifikasi halal yang mengalami perubahan signifikan. Namun, dengan adanya perubahan jangka waktu keberlakukan sertifikasi halal yang semula jangka waktu berlaku selama 4 (empat) tahun dan diubah menjadi tanpa batas jangka waktu tertentu, dengan ini kebijakan tersebut telah memberikan kemudahan dan kepastian hukum bagi Pelaku Usaha untuk mengedarkan produk-produk halal di wilayah Indonesia. Meskipun demikian Pelaku Usaha wajib berkomitmen untuk melakukan pembaharuan sertifikasi halal apabila terdapatnya perubahan komposisi bahan dan/atau Proses Produk Halal (PPH) atas Produk yang sudah terdafatar sertifikat halal sebelumnya.
Sebagai catatan berdasarkan ketentuan peralihan yang tercantum di dalam Pasal 195 PP 42/2024, disebutkan bahwa logo halal yang ditetapkan oleh MUI sebelum diberlakukannya PP 42/2024, tetap dapat dipergunakan untuk jangfka waktu paling lama 2 (dua) tahun (terhitung sejak diberlakukannya PP 42/2024). Jika perlu diperbaharui, maka terdapat proses penetapan Kehalalan Produk yang lebih rigid berdasarkan Pasal 86 PP 42/2024 dengan melibatkan MUI, MUI Provinsi, MUI Kab/kota dalam sidang fatwa halal.