Memasuki tahun 2025, pemerintah Indonesia resmi menaikkan dan menetapkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang semula berlaku sebesar 11% (sebelas persen), berubah dan meningkat menjadi 12% (dua belas persen) (“Kenaikan Tarif PPN”). Kenaikan Tarif PPN tersebut di atas, pada dasarnya telah diamanatkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Bab IV Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakkan (“UU PPN”) yang menyatakan bahwa tarif PPN sebesar 12% (dua belas persen) mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.
PPN merupakan pajak yang dikenakan atas penyerahan barang dan jasa yang kena pajak di daerah pabean, terhadap Subjek PPN yang terdiri atas Pengusaha Kena Pajak (PKP) baik orang pribadi maupun badan, yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, sebagaimana diatur dalam UU PPN.
*Catatan :
Daerah pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan.
A. Jenis Barang dan Jasa Kena Pajak
Pasal 1A ayat (1) j.o Pasal 4 UU PPN menjelaskan lebih lanjut mengenai hal – hal apa saja yang dapat dikategorikan sebagai Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak, yaitu sebagai berikut :
No | Barang Kena Pajak | Jasa Kena Pajak |
1. | penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian; | penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha; |
2. | pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing); | impor Barang Kena Pajak (BKP); |
3. | penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang; | penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha; |
4. | pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak; | pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; |
5. | Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan; | pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; |
6. | penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang; | ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; |
7. | penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; dan | ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan |
8. | penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak. | ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak. |
Catatan :
Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud di atas, tidak termasuk hal – hal sebagai berikut, termasuk namun tidak terbatas pada :
a. penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
b. penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;
c. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 1A ayat (1) huruf f UU PPN dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang;
d. pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak; dan
e. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c, yaitu pengkreditan pajak masukan yang tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk :
– perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
– perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan.
Berdasarkan sifatnya, Barang Kena Pajak dapat dikategorikan dengan 2 (dua) sifat yaitu Barang Kena Pajak Berwujud dan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud. Barang Kena Pajak Berwujud yaitu merupakan barang – barang yang secara wujud memiliki bentuk fisik. Sedangkan, Barang Kena Pajak Tidak Berwujud yang dikategorikan berdasarkan UU PPN yaitu sebagai berikut :
- penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
- Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;
- pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;
- pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa :
a. penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
b. penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa; dan
c. penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi; - penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan
- pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka dalam hal terjadi penyerahan, pemanfaatan dan ekspor BKP tidak berwujud berdasarkan kategori di atas, maka Pengusaha Kena Pajak akan dikenakan tarif PPN.
B. Pengenaan PPN untuk Kegiatan Lainnya
Selain barang dan jasa kena pajak sebagaimana telah diuraikan di atas, UU PPN pada dasarnya juga mengenakan dan memungut PPN terhadap kegiatan – kegiatan lainnya yang dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia, yaitu diantaranya seperti Kegiatan Membangun Bukan Untuk Usaha, dan Penyerahan Aktiva, dengan ketentuan lebih lanjut sebagai berikut :
- Pengenaan PPN untuk Kegiatan Membangun Tidak Dalam Usaha
Ketentuan pengenaan PPN untuk kegiatan Membangun Tidak Dalam Usaha tersebut di atas, diatur dalam Pasal 16 C dan Pasal 16 D UU PPN yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut :
“Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain”.
Kriteria mengenai Kegiatan Membangun Sendiri yang dikenakan PPN berdasarkan Pasal 16 C dan Pasal 16 D UU PPN, diatur lebih lanjut dalam Pasal 323 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (“PMK 81/2024”). Adapun, Pasal 323 ayat (4) PMK
81/2024 mengatur bahwa kriteria kegiatan membangun sendiri yang dikenakan PPN yaitu diantaranya :
a. Kegiatan membangun bangunan, baik bangunan baru maupun perluasan bangunan lama, yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha;
b. konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja;
c. diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan
d. luas keseluruhan paling sedikit 200m2 (dua ratus meter persegi),
yang dilakukan secara sekaligus dalam suatu jangka waktu tertentu, atau bertahap sebagai satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan membangun tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun.Apabila tenggang waktu antara tahapan kegiatan membangun bangunan lebih dari 2 (dua) tahun, kegiatan tersebut merupakan kegiatan membangun bangunan yang terpisah sepanjang memenuhi kriteria bangunan sebagaimana dimaksud pasal pasal 323 ayat (4) PMK 81/2024.
Adapun, apabila kegiatan membangun bangunan oleh pihak lain bagi orang pribadi atau badan namun PPN atas kegiatan tersebut tidak dipungut oleh pihak lain, maka kegiatan tersebut juga dapat dikategorikan sebagai kegiatan membangun sendiri yang dikenakan PPN.
PPN untuk Kegiatan Membangun Sendiri, ditentukan dengan perhitungan yaitu sebagai berikut :
20% 𝑥 𝑇𝑎𝑟𝑖𝑓 𝑃𝑃𝑁 𝑥 𝐷𝑎𝑠𝑎𝑟 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑎𝑎𝑛 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘
Keterangan :
– Tarif PPN yaitu Tarif yang ditentukan dalam Pasal 7 UU PPN
– Dasar Pengenaan Pajak yaitu Nilai tertentu sebesar jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan untuk setiap masa pajak sampai dengan bangunan selesai, tidak termasuk perolehan tanah. - Pengenaan Pajak atas Penyerahan Aktiva
Pasal 9 ayat 8 huruf b dan huruf c mengatur mengenai Pengenaan Pajak atas Penyerahan Aktiva, khususnya yaitu untuk penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan, atau pengenaan pajak yang dikenakan terhadap pengeluaran – pengeluaran sebagai berikut :
- perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
- perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan.
C. Pengecualian Pengenaan Pajak
- Pengecualian Pengenaan Pajak dengan Pengenaan tarif 0%
Setelah membahas mengenai hal-hal apa saja yang dikenakan PPN, baik Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dan Kegiatan lainnya, UU PPN juga pada dasarnya mengatur secara khusus mengenai pengecualian suatu hal dari pengenaan PPN, sehingga dikenakan tarif PPN sebesar 0% (nol persen), khususnya untuk kegiatan – kegiatan yang diatur dalam Pasal 7 ayat 2 dan ayat 3, yaitu sebagai berikut :
1. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
2. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
3. Ekspor Jasa Kena Pajak.
Mengenai Ekspor Jasa Kena Pajak pada dasarnya didefinisikan sebagai kegiatan pelayanan di dalam daerah pabean yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dimanfaatkan di luar daerah pabean, yang terdiri atas kegiatan – kegiatan sebagai berikut :
a. kegiatan yang melekat pada barang bergerak yang dikeluarkan untuk dimanfaatkan di luar Daerah Pabean, seperti kegiatan Jasa Maklon, Jasa Perbaikan dan Perawatan, dan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) terkait barang untuk tujuan ekspor;
b. kegiatan yang melekat pada barang tidak bergerak yang berada di luar Daerah Pabean; atau
c. kegiatan penyampaian langsung maupun tidak langsung melalui pos dan saluran elektronik atau kegiatan penyediaan hak untuk dipakai di luar Daerah Pabean berdasarkan permintaan Penerima Ekspor Jasa Kena Pajak;
d. Jasa Kena Pajak berupa kegiatan pelayanan yang hasilnya diserahkan untuk dimanfaatkan di luar Daerah Pabean seperti :
– jasa teknologi dan informasi;
– jasa penelitian dan pengembangan (research and development) ;
– jasa persewaan alat angkut berupa persewaan pesawat udara dan/ atau kapal laut untuk kegiatan penerbangan atau pelayaran internasional;
– jasa konsultansi bisnis dan manajemen, jasa konsultansi hukum, jasa konsultansi desain arsitektur dan interior, jasa konsultansi sumber daya manusia, jasa konsultansi keinsinyuran (engineering services), jasa konsultansi pemasaran (marketing services), jasa akuntansi atau Pembukuan, jasa audit laporan keuangan, dan jasa perpajakan;
– jasa perdagangan berupajasa mencarikan penjual barang di dalam Daerah Pabean untuk tujuan
– ekspor;
– jasa interkoneksi, penyelenggaraan satelit dan/atau komunikasi konektivitas data; dan
– Hal – hal lainnya yang diatur dan dirinci lebih lanjut dalam UU PPN maupun PMK 81/2024.
Untuk dapat memperoleh fasilitas pengenaan Pajak 0% terhadap kegiatan – kegiatan tersebut diatas, Pasal 282 PMK 81/2024 mengatur syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh Subjek Pajak atas Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud di atas, dengan syarat yaitu sebagai berikut :
a. didasarkan atas perikatan atau perjanjian tertulis antara Pengusaha Kena Pajak dengan Penerima Ekspor Kena Pajak yang mencantumkan dengan jelas hal – hal sebagai berikut :
1. jenis ekspor kena pajak;
2. Rincian kegiatan yang dihasilkan di dalam Daerah Pabean untuk dimanfaatkan di luar Daerah Pabean oleh Penerima Ekspor Jasa Kena Pajak; dan
3. nilai penyerahan jasa kena pajak; dan
b. terdapat pembayaran disertai dengan bukti pembayaran yang sah dari penerima ekspor jasa kena pajak kepada pengusaha kena pajak sehubungan dengan ekspor jasa kena pajak. - Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan PPN
Pengaturan cakupan BKP dan JKP dalam UU PPN pada dasarnya bersifat negative list, dalam artian bahwa pada prinsipnya seluruh barang dan jasa merupakan BKP dan JKP kena PPN, kecuali ditetapkan sebagai barang atau jasa yang tidak dikenai PPN. Pasal 4A ayat (2) UU PPN mengatur jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:
a. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah; dan
b. uang, emas batangan untuk kepentingan cadangan devisa negara, dan surat berharga.
Adapun, untuk jenis jasa yang tidak dikenai PPN berdasarkan Pasal 4A ayat (3) UU PPN yaitu diantaranya sebagai berikut :
a. jasa keagamaan, meliputi :
– Jasa pelayanan rumah ibadah;
– Jasa pemberian khotbah atau dakwah;
– Jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan; dan
– Jasa lainnya di bidang keagamaan.
b. jasa kesenian dan hiburan, meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan yang merupakan objek pajak dearah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah;
c. jasa perhotelan, meliputi jasa penyewaan kamar dan/atau jasa penyewaan ruangan di hotel yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak dearah dan retribusi daerah;
d. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, meliputi semua jenis jasa sehubungan dengan kegiatan pelayanan yang dapat dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan jasa tersebut tidak dapat disediakan oleh bentuk usaha lain;
e. jasa penyediaan tempat parkir, meliputi jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir yang dilakukan oleh pemilik tempat parkir atau pengusaha pengelola tempat parkir kepada pengguna tempat parkir yang merupakan objek pajak dearah retribusi daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang
-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah; dan
f. jasa boga atau katering, meliputi semua kegiatan pelayanan penyediaan makanan dan minuman yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi dearah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah.