Sebagaimana diketahui bersama, bahwa pada tanggal 31 Oktober 2024, Mahkamah Konstitusi telah memutus Uji Materiil Undang-Undang Ketenagakerjaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“UU Ketenagakerjaan”), atas Permohonan Uji Materiil Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh beberapa Serikat Pekerja dan Partai Buruh Indonesia.
Secara garis besar, putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materiil terhadap UU Ketenagakerjaan menitikberatkan pada penegasan hak-hak pekerja dan kewajiban pemberi kerja yang berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut, termasuk namun tidak terbatas pada :
1) Ketentuan mengenai Tenaga Kerja Asing;
2) Ketentuan mengenai penetapan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu;
3) Ketentuan mengenai pelaksanaan Cuti Pekerja;
4) Ketentuan mengenai sistem pengupahan dan penghidupan yang layak bagi Pekerja.
5) Ketentuan Pemutusan Hubungan Kerja dan Perselisihan Hubungan Industrial;
6) Ketentuan mengenai penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK), dan Uang Pengganti Hak;
Untuk memperjelas hasil uji materiil atas setiap pokok-pokok ketentuan tersebut di atas, berikut merupakan uraian uji materiil UU Ketenagakerjaan yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 168/PUU-XXI/2023 (“Putusan Uji Materiil UU Ketenagakerjaan”) :
Catatan : |
- Uji Materiil terhadap Ketentuan Tenaga Kerja Asing
Mahkamah Konstitusi memberikan penegasan Pasal 42 ayat 1 UU Ketenagakerjaan mengenai kewajiban Pemberi Kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing untuk membuat suatu Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (“RPTKA”) yang disahkan oleh Menteri Ketenagakerjaan. Meskipun demikian, hasil uji materiil Mahkamah Konstitusi mengenai kewajiban penyusunan RPTKA oleh Pemberi Kerja, tetap tidak menegaskan ketentuan mengenai muatan atas RPTKA yang harus disusun oleh Pemberi Kerja sebagaimana sebelumnya diatur dalam UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Selain itu, apabila Pemberi Kerja akan mempekerjakan tenaga kerja asing, maka dalam hal ini sesuai dengan hasil uji materiil terhadap ketentuan Pasal 42 ayat 4 UU Ketenagakerjaan,
Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa, tenaga kerja asing yang dapat dipekerjakan di Indonesia, harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
– Tenaga Kerja Asing hanya dipekerjakan untuk suatu jabatan tertentu;
– Tenaga Kerja Asing dipekerjakan untuk hubungan kerja berdasarkan waktu tertentul
– Tenaga Kerja Asing terbukti memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki; dan
– Pemberi Kerja wajib tetap memperhatikan pengutamaan penggunaan Tenaga Kerja Indonesia.
Mengenai ketentuan-ketentuan lainnya yang berkaitan dengan penggunaan Tenaga Kerja Asing, Mahkamah Konstitusi tidak mengubah dan/atau memberikan penjelasan lebih lanjut. Sehingga, seluruh ketentuan mengenai penggunaan Tenaga Kerja Asing, tetap mengacu pada UU Ketenagakerjaan, dengan pokok-pokok sebagai berikut :
a. Pemberi Kerja atau Pelaku Usaha orang perseorangan dilarang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing;
b. Tenaga Kerja Asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia;
c. Tenaga Kerja Indonesia wajib ditunjuk oleh Pemberi Kerja untuk menjadi tenaga pendamping Tenaga Kerja Asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari Tenaga Kerja Asing; dan
d. Pemberi Kerja wajib memberikan pendidikan dan Pelatihan Kerja bagi Tenaga Kerja Indonesia sesuai dengan kualifikasi jabatang yang diduduki oleh Tenaga Kerja Asing.
2. Uji Materiil terhadap Ketentuan Penetapan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi mempertegas kembali bahwa pelaksanakaan perjanjian kerja waktu tertentu tidak boleh dilaksanakan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun, termasuk apabila terdapat perpanjangan terhadapnya, dan harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.
Mengenai ketentuan-ketentuan lainnya, Mahkamah Konstitusi tidak mengubah dan/atau memberikan penjelasan lebih lanjut, sehingga ketentuan lainnya mengenai pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang harus dipatuhi oleh Pemberi Kerja tetap mengacu pada ketentuan UU Ketenagakerjaan sebelumnya, dengan pokok-pokok sebagai berikut :
a. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja; dan
b. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
3. Uji Materiil terhadap Ketentuan Penetapan Istirahat (Cuti) Pekerja
Secara garis besar, UU Ketenagakerjaan pada dasarnya telah mengatur mengenai istirahat bagi Pekerja, yang terdiri atas waktu istirahat harian, istirahat mingguan, Cuti tahunan dan istirahat panjang. Namun, dengan adanya uji materiil terhadap UU Ketenagakerjaan, Mahkamah Konstitusi mempertegas beberapa ketentuan yang berkaitan dengan istirahat pekerja, khususnya dalam lingkup istirahat mingguan dan istirahat panjang bagi Pekerja.
Dalam UU Ketenagakerjaan sebelumnya, ketentuan mengenai istirahat mingguan pada dasarnya hanya diatur ketentuan istirahat bagi pekerja yang bekerja selama 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu dan tidak mengatur secara tegas mengenai ketentuan pelaksanaan istirahat mingguan untuk Pekerjan yang bekerja 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Atas hal tersebut, dalam putusan Uji Materiil terhadap UU Ketenagakerjaan, Mahkamah Konstitusi menegaskan ketentuan mengenai istirahat mingguan Pekerja yaitu menjadi sebagai berikut :
“..istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu, atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu”.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga pada pokoknya mempertegas kewajiban Pemberi Kerja untuk memberi hak istirahat panjang bagi Pekerja yang telah bekerja dalam suatu jangka waktu tertentu. Namun, Putusan Uji Materiil UU Ketenagakerjaan tidak mengatur lebih lanjut bagaimana ketentuan pemberian hak istirahat panjang bagi Pekerja, dan tetap melimpahkan kewenangan pengaturan hal tersebut kepada Pemberi Kerja untuk diatur lebih lanjut dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Meskipun penegasan mengenai ketentuan istirahat Pekerja dalam Putusan Uji Materiil UU Ketenagakerjaan hanya mempertegas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan istirahat mingguan dan istirahat panjang, akan tetapi dapat dipahami bahwa dalam pokoknya pemberlakuan ketentuan istirahat Pekerjaan dalam Putusan Uji Materii UU Ketenagakerjaan, bertujuan untuk mempertegas kewajiban Pemberi Kerja agar memperhatikan hak waktu kerja dan hak waktu istirahat bagi Pekerja, sebagaimana diatur sebagai berikut :
a. Pemberi Kerja wajib memberikan istirahat diantara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus-menerus dan waktu istirahat tersebut tidak masuk jam kerja;
b. Pemberi Kerja wajib memberikan istirahat mingguan bagi Pekerja; dan
c. Pemberi Kerja wajib memberikan Cuti Tahunan sebanyak 12 (dua belas) hari kerja setelah Pekerja yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.
4. Uji Materiil terhadap Ketentuan Pengupahan dan Penghidupan yang Layak bagi Pekerja
Dalam UU Ketenagakerjaan sebelumnya, pada dasarnya telah diatur bahwa “…setiap Pekerja/Buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Namun, UU Ketenagakerjaan tidak menjelaskan lebih lanjut bagaimana frasa “penghidupan yang layak bagi pekerja” harus dimaknai.
Atas hal tersebut, Putusan Uji Materiil UU Ketenagakerjaan mempertegas makna penghidupan yang layak bagi pekerja, dimana penghidupan yang layak bagi Pekerja harus dimaknai dengan penghasilan yang dapat memenuhi hal-hal seperti:
• kebutuhan hidup Pekerja dan keluarga secara wajar; dan
• kebutuhan makanan, minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan Jaminan Hari Tua.
Berkaca pada fenomena penghasilan yang layak di Indonesia, hal tersebut disebabkan oleh permasalahan struktural atas penetapan Upah Minimum Regional (UMR) yang nilainya sangat kecil dan berakibat pada tidak terpenuhinya penghidupan yang layak bagi Pekerja. Untuk mengatasi hal tersebut, Putusan Uji Materiil UU Ketenagakerjaan menetapkan bahwa penetapan Upah Minimum Regional (UMR) oleh Pemerintah Pusat akan kembali melibatkan Dewan Pengupahan Daerah, sebagai pihak yang memiliki kewenangan untuk merumuskan kebijakan pengupahan untuk dijadikan bahan oleh Pemerintah Pusat dalam menetapkan upah minimum.
Meskipun terdapat ketentuan penetapan upah minimum oleh Pemerintah Pusat dan Dewan Pengupahan, akan tetapi untuk mengefektifkan pemenuhan hak penghidupan dan penghasilan yang layak, UU Ketenagakerjaan mewajibkan Pemberi Kerja untuk menyusun struktur dan skala upah dalam Perusahaan, dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas, serta memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi Pekerja. Selain itu, UU Ketenagakerjaan juga memberikan kewenangan bagi Pemberi Kerja untuk memberikan upah di atas upah minimum yang didasarkan pada pertimbangan penyusunan struktur dan skala upah di lingkungan perusahaan.
Selain itu, melalui Uji Materiil UU Ketenagakerjaan ini, Mahkamah Konstitusi juga turut mengubah formula penghitungan upah. Semula diatur bahwa formula perhitungan upah minimum harus mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Dalam hal ini indeks tertentu juga harus “turut mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh.
Hak upah bagi Pekerja pada dasarnya merupakan hak mutlak yang harus dipenuhi oleh Pemberi Kerja kepada Pekerja. Bahkan, apabila Perusahaan dalam suatu kondisi kesulitan keuangan atau pailit sekalipun, UU Ketenagakerjaan mempertegas bahwa hak upah Pekerja harus didahulukan pembayarannya atas semua kreditur termasuk kreditur preferen, kecuali kreditur yang berkedudukan sebagai pemegang hak jaminan kebendaan.
Atas uraian tersebut, dan dengan mendasar pada UU Ketenagakerjaan maupun Putusan Uji Materiil UU Ketenagakerjaan, dapat dipahami bahwa penetapan upah Pekerja untuk dapat memenuhi hak penghidupan yang layak merupakan kewenangan dan kewajiban bersama bagi Pemerintah serta Pemberi Kerja untuk dapat menyusun dan menetapkan upah minimum, struktur serta skala upah pekerja yang didasarkan pada pertimbangan atas golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi Pekerja.
5. Uji Materiil terhadap Ketentuan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan Perselisihan Industrial
Putusan Uji Materiil UU Ketenagakerjaan pada lingkup Perselisihan Hubungan Industrial, pada dasarnya hanya menitikberatkan pengujian materiil terhadap ketentuan yang berkaitan dengan perselisihan hubungan industrial akibat pemutusan hubungan kerja secara sepihak. Putusan Uji Materiil UU Ketenagakerjaan menegaskan, bahwa apabila Pemberi Kerja bemaksud untuk melakukan pemutusan hubungan kerja, maka pemutusan hubungan kerja tersebut harus dilakukan atas dasar musyawarah dan mufakat, dengan tahapan sebagai berikut :
– Pemberi Kerja memberitahukan perihal pemutusan hubungan kerja kepada Pekerja yang bersangkutan;
– Apabila Pekerja yang bersangkutan menolak untuk dilakukan pemutusan hubungan kerja, maka antara Pemberi Kerja dan Pekerja harus melakukan perundingan bipartit;
– Pemutusan Hubungan Kerja atas perundingan bipartit tersebut di atas hanya dapat dilakukan apabila memenuhi prinsip musyawarah mufakat dianta Pemberi Kerja dan Pekerja;
– Dalam hal Pekerja dan Pemberi Kerja tidak mencapai mufakat, maka pemutusan hubungan kerja hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Atas hal tersebut dan dengan mendasar pada hasil penelusuran yang kami lakukan, dalam hal ini dapat dipahami bahwa secara garis besar Putusan Uji Materiil UU Ketenagakerjaan dalam lingkup Perselisihan Hubungan Industrial, hanya menegaskan perlu adanya kesepakatan dan/atau kemufakatan diantara Pekerja dan Pemberi Kerja atas pemutusan hubungan kerja. Sehingga, Pemberi Kerja tidak dapat semena-mena melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak.
6. Uji Materiil terhadap Ketentuan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK), dan Uang Pengganti Hak
UU Ketenagakerjaan sebelumnya, pada dasarnya telah mengatur bahwa apabila terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, Pemberi Kerja wajib memberikan pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak kepada Pekerja yang bersangkutan dengan perhitungan sebagai berikut :
a. Uang Pesangon
Uang Pesangon diberikan dengan ketentuan perhitungan sebagai berikut :
UANG PESANGON | |
Masa Kerja | Besaran Uang Pesangon |
< 1 tahun | 1 bulan upah |
> 1 tahun < 2 tahun | 2 bulan upah |
> 2 tahun < 3 tahun | 3 bulan upah |
> 3 tahun < 4 tahun | 4 bulan upah |
> 4 tahun < 5 tahun | 5 bulan upah |
> 5 tahun < 6 tahun | 6 bulan upah |
> 6 tahun < 7 tahun | 7 bulan upah |
> 7 tahun < 8 tahun | 8 bulan upah |
> 8 tahun | 9 bulan upah |
b. Uang Penghargaan Masa Kerja
Uang Penghargaan Masa Kerja diberikan dengan perhitungan sebagai berikut :
UANG PENGHARGAAN MASA KERJA | |
Masa Kerja | Besaran Uang Pesangon |
> 3 tahun < 6 tahun | 2 bulan upah |
> 6 tahun < 9 tahun | 3 bulan upah |
> 9 tahun < 12 tahun | 4 bulan upah |
> 12 tahun < 15 tahun | 5 bulan upah |
> 15 tahun < 18 tahun | 6 bulan upah |
> 18 tahun < 21 tahun | 7 bulan upah |
> 21 tahun < 24 tahun | 8 bulan upah |
> 24 tahun | 10 bulan upah |
Dengan adanya Putusan Uji Materiil UU Ketenagakerjaan, pada dasarnya Mahkamah Konstitusi tidak mengubah ketentuan mengenai besaran dan perhitungan atas pemberian Uang Pesangon serta Uang Penghargaan Masa Kerja bagi Pekerja yang dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja. Akan tetapi, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa ketentuan mengenai besaran perhitungan Uang Pesangon dan Uang Penghargaan Masa Kerja yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan, harus dimaknai sebagai nilai minimal (atau paling sedikit). Sehingga, dapat dipahami bahwa apabila Pemberi Kerja melakukan pemutusan hubungan kerja, maka Pemberi Kerja dilarang memberikan Uang Pesangon dan Uang Penghargaan Masa Kerja dibawah nilai yang telah ditentukan dalam UU Ketenagakerjaan.