Skip to content
Home » Pedoman Mengadili Perkara Pidana Pada Tahap Peradilan Berdasarkan Keadilan Restoratif PERMA No 1 Tahun 2024

Pedoman Mengadili Perkara Pidana Pada Tahap Peradilan Berdasarkan Keadilan Restoratif PERMA No 1 Tahun 2024

  • by

Seiring dengan adanya perkembangan sistem pemidanaan, pemidanaan pada dasarnya tidak hanya bertujuan untuk memberikan sanksi terhadap terdakwa melainkan di sisi lain juga memiliki tujuan mulia untuk penyelarasan kepentingan pemulihan korban dengan melibatkan pertanggungjawaban dari terdakwa melalui suatu pendekatan Keadilan Restoratif atau yang sering dikenal dengan istilah Restorative Justice.

Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Keadilan Restoratif merupakan pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan dengan melibatkan para pihak baik korban, keluarga korban, terdakwa, terdakwa anak, keluarga terdakwa, keluarga terdakwa anak, dan atau pihak lain yang terkait, dengan proses yang memiliki tujuan untuk mengupayakan pemulihan, dan bukan hanya pembalasan (“Keadilan Restoratif”).

Dalam perkembangannya, Keadilan Restoratif dilakukan terbatas pada penghentian penyelidikan dan/atau penyidikan hingga penghentian penuntutan sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (“Peraturan Kepolisian 8/2021”) dan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (“Peraturan Kejaksaan 15/2020”). Seiring berjalannya waktu Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (“Perma 1/2024”), yang pada pokoknya mengatur mengenai penerapan Keadilan Restoratif di tingkat pengadilan khusus untuk perkara pidana ringan, pidana delik aduan, termasuk pidana jinayat menurut qanun, militer, tindak pidana anak dan tindak pidana lalu lintas berupa kejahatan. Secara garis besar, penerapan Keadilan Restoratif di tingkat pengadilan berdasarkan Perma 1 2024 khususnya yaitu Pasal 3 ayat 2 Perma 1 2024 bukanlah suatu upaya yang bertujuan untuk menghapuskan suatu pertanggungjawaban pidana. Akan tetapi, sesuai dengan ketentuan Pasal 2 j.o Pasal 3 Perma 1 2024, penerapan Keadilan Restoratif di tingkat pengadilan dilakukan dengan tujuan bahwa pertimbangan dan putusan suatu pengadilan dimaksudkan dengan prioritasi tujuan untuk pemulihan keadaan, penguatan hak kebutuhan dan kepentingan korban melalui pertanggungjawaban dari Terdakwa.

  1. Jenis dan Syarat Perkara yang Dapat Diadili dengan Pendekatan Keadilan Restoratif

Sama halnya seperti ketentuan yang diatur dalam Peraturan Kepolisian 8/2021 dan Peraturan Kejaksaan 15/2020 penerapan Keadilan Restoratif berdasarkan Perma 1/2024 hanya dapat dilakukan terhadap perkara-perkara yang memenuhi suatu persyaratan tertentu, hal tersebut diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Perma 1/2024 yang pada pokoknya menyatakan bahwa suatu perkara pidana dapat diadili dengan pendekatan Keadilan Restoratif apabila setidak-tidaknya terpenuhi salah satu persyaratan di bawah ini :

a. Tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana ringan atau kerugian Korban bernilai tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) atau tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat;

b.Tindak pidana merupakan delik aduan;

c. Tindak pidana dengan ancaman hukuman maksimal 5 (lima) tahun penjara dalam salah satu dakwaan, termasuk tindak pidana jinayat menurut qanun;

d. Tindak pidana dengan pelaku Anak yang diversinya tidak berhasil; atau

e. Tindak pidana lalu lintas yang berupa kejahatan.

Pada dasarnya, penerapan Keadilan Restoratif dalam proses mengadili perkara pidana dilakukan berdasarkan Kesepatan Perdamaian di antara kedua pihak. Oleh karenanya, Hakim tidak berwenang untuk mengadili suatu perkara dengan penerapan Keadilan Restoratif apabila dalam suatu perkara tersebut Korban atau Terdakwa menolak untuk melakukan perdamaian dan/atau Terdakwa mengulangi tindak pidana sejenis dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun sejak Terdakwa selesai menjalani putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

2. Alur dan Tatacara Penerapan Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif

Untuk menerapkan Keadilan Restoratif dalam proses mengadili perkara pidana, pada dasarnya perkara tersebut harus melalui proses persidangan pada umumnya sebagaimana diatur dalam ketentuan Hukum Acara Pidana. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 7 Perma 1/2024, penerapan Keadilan Restoratif hanya dapat dilaksanakan apabila pada saat sidang pertama, setelah kuasa Penuntut Umum atau Penuntut Umum membacakan berita acara pemeriksaan atau catatan dakwaan atau surat dakwaan dan Terdakwa menyatakan mengerti berita acara pemeriksaan atau catatan dakwaan atau isi dakwaan Penuntut Umum, Hakim memberikan kesempatan kepada Terdakwa untuk membenarkan atau tidak membenarkan perbuatan yang didakwakan kepadanya. Dalam hal pernyataan terdakwa membenarkan seluruh perbuatan yang didakwakan dan tidak mengajukan nota keberatan atas dakwaan yang dibacakan oleh majelis hakim, maka proses persidangan dapat langsung dilanjutkan disertai dengan mekanisme Keadilan Restoratif. Pengakuan dari Terdakwa tersebut dianggap sebagai bentuk apresiasi dari pengadilan atas kejujur dan sikap kooperatif dari Terdakwa agar dapat memberikan pertanggungjawaban kepada korban.

Note :
Dalam hal terdakwa tidak membenarkan dan/atau menyangkal perbuatannya serta menyampaikan nota keberatan pada proses persidangan, maka hak untuk menerapkan Keadilan Restoratif akan gugur dan majelis hakim akan melanjutkan proses mengadili perkara tersebut sesuai dengan ketentuan dan prosedur Hukum Acara Pidana.

Setelah itu, berdasarkan ketentuan Pasal 8 Perma 1/2024, majelis hakim akan menanyakan kepada penuntut umum mengenai kehadiran korban dalam persidangan untuk kemudian majelis hakim meminta keterangan dari korban mengenai hal-hal sebagai berikut :

a. Kronologis tindak pidana yang dialami korban;

b. Kerugian yang timbul dari/atau kebutuhan korban sebagai akibat tindak pidana;

c. Ada atau tidak perdamaian antara Terdakwa dan Korban sebelum persidangan; dan

d. Pelaksanaan kesepakatan atau perjanjian yang timbul dari perdamaian (dalam hal telah ada

perdamaian).

Dalam hal korban hadir dalam persidangan dan menyatakan bahwa telah terdapat kesepakatan perdamaian diantara korban dan terdakwa sebelum persidangan, maka sesuai dengan Pasal 9 ayat 1 Perma 1/2024 majelis hakim akan memeriksa kesepakatan perdamaian tersebut untuk kemudian dijadikan dasar pertimbangan dalam mengadili terdakwa yang akan dituangkan dalam putusan dan melanjutkan proses pemeriksaan. Dalam proses persidangan Majelis Hakim akan

secara aktif untuk menanyakan proses realisasi atau pelaksanaan atas hal-hal yang telah disepakati dalam kesepakatan perdamaian.

Apabila diperoleh informasi dari korban bahwa terdakwa belum sepenuhnya merealisasikan kesepakatan perdamaian tersebut, majelis hakim akan mempertanyakan alasan tidak direalisasikan kesepakatan kepada terdakwa untuk kemudian majelis hakim akan mengarahkan dan mengupayakan terjadinya kesepakatan baru diantara korban dan terdakwa agar kedua pihak dapat membuat kesepakatan yang dapat disanggupi oleh terdakwa (“Kesepakatan Perdamaian Baru”).

Pasal 18 ayat 1 Perma 1/2024 menyatakan bahwa dalam Kesepakatan Perdamaian Baru, setidak- tidaknya harus termuat hal-hal sebagai berikut :

a. Terdakwa mengganti kerugian;

b. Terdakwa melaksanakan suatu perbuatan; dan/atau

c. Terdakwa tidak melaksanakan suatu perbuatan.

Adapun, untuk tetap melindungi keadilan bagi para pihak, Perma 1/2024 mengatur bahwa Kesepakatan Perdamaian Baru dilarang bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan serta melanggar Hak Asasi Manusia dan/atau kesepakatan berpotensi merugikan pihak ketiga atau tidak dapat dilaksanakan.

Untuk dapat menciptakan Kesepakatan Perdamaian Baru yang sesuai dengan persyaratan dalam Perma 1/2024 serta agar penyelesaian perkara dengan menerapkan prinsip Keadilan Restoratif dapat terealisasikan, sesuai dengan Pasal 12 Ayat (2) Perma 1/2024 hakim diberikan kewenangan untuk turut andil memberikan saran dan arahan kepada kedua pihak, melalui hal-hal sebagai berikut :

a. Memberikan kesempatan kepada Terdakwa dan Korban untuk menyampaikan permasalahan dan kebutuhan masing-masing;

b. Menganjurkan komunikasi yang konstruktif antara Terdakwa dan Korban sebagai upaya memulihkan hubungan Terdakwa dan Korban;

c. Memberikan saran kepada Terdakwa dan Korban;

d. Mengizinkan kehadiran tokoh agama, tokoh masyarakat, dan/atau tokoh adat atas usulan

atau persetujuan para pihak;

e. Melakukan upaya persuasi kepada Terdakwa dan Korban untuk mencapai kesepakatan yang sanggup dilaksanakan oleh Terdakwa untuk pemenuhan tanggung jawab Terdakwa dan memenuhi kepentingan dan/atau kebutuhan Korban untuk pemulihan Korban;

f. Memerintahkan segala keterangan Terdakwa dan Korban untuk dicatat dalam berita acara persidangan;

g. Memerintahkan Korban dan Terdakwa untuk menyerahkan salinan kesepakatan perdamaian kepada Penuntut Umum dan/atau penasihat hukum;

h. Menyarankan Penuntut Umum untuk mempertimbangkan kesepakatan antara Terdakwa dan Korban sebagai pertimbangan dalam surat tuntutan; dan/atau

i. Menyarankan penasihat hukum untuk mempertimbangkan kesepakatan antara Terdakwa dan Korban sebagai pertimbangan dalam nota pembelaan.

Apabila kesepakatan baru tersebut disetujui dan tercapai, maka dalam proses mengadili perkara pidana majelis hakim akan menjadikan Kesepakatan Perdamaian Baru tersebut sebagai pertimbangan untuk menentukan sanksi bagi terdakwa yang akan dituangkan dalam putusan, dengan catatan bahwa hakim telah memastikan Kesepakatan Perdamaian Baru tersebut tercapai tanpa adanya kesesatan, paksaan, atau penipuan dari salah satu pihak.

3. Akibat Penerapan Keadilan Restoratif dalam Proses Mengadili Perkara Pidana

Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, Kesepakatan Perdamaian yang dibuat untuk pelaksanaan penerapan Keadilan Restoratif bukanlah suatu upaya yang bertujuan untuk menghapuskan suatu pertanggungjawaban pidana, melainkan Kesepakatan Perdamaian yang tercipta diantara para pihak akan menjadi alasan yang meringankan hukuman serta menjadi pertimbangan bagi hakim untuk menjatuhkan pidana, baik pidana bersyarat maupun pidana pengawasan atau keringanan lainnya seperti :

a. Menjatuhkan alternatif pemidanaan selain pidana penjara terhadap Terdakwa; dan/atau
b. Menjamin terpenuhinya kesepakatan antara terdakwa dan korban serta memulihkan kerugian korban.

Dalam penjatuhan pidana bersyarat atau pidana pengawasan pada pokoknya hakim akan menjatuhkan pidana dengan suatu Syarat Umum atau Syarat Khusus yang disesuaikan dengan keadaan dan/atau kondisi perkara maupun keadaan atau kondisi mengenai terlaksananya kesepakatan perdamaian diantara para pihak.

Apabila mengacu pada ketentuan Pasal 19 ayat 5, penjatuhan pidana dengan Syarat Umum dijatuhkan untuk paling lama 3 (tiga) tahun. Adapun, penerapan Syarat Umum dalam penjatuhan pidana akan dilakukan oleh hakim apabila :

  1. Tindak Pidana yang dilaklukan dapat diberikan pidana bersyarat/pengawasan dan terdakwa layak untuk dipidana dengan pidana bersyarat/pengawasan; dan

  2. Terdakwa telah melaksanakan seluruh kesepakatan perdamaian yang tercipta diantara para pihak atau terdakwa sudah mencapai kesepakatan dengan korban.

Sementara itu, penjatuhan pidana besyarat/pengawasan dengan menerapkan Syarat Khusus akan dilakukan oleh hakim dalam hal terdakwa telah mencapai kesepakatan dengan korban namun belum melaksanakan seluruh atau sebagian isi kesepakatan tersebut atau terdakwa dan korban tidak dapat mencapai kesepakatan perdamaian dan hasil kesepakatan tersebut akan dijadikan acuan/pertimbangan bagi hakim dalam hal untuk penjatuhan pidana dengan menerapkan Syarat Khusus.

Apabila dalam proses mengadili perkara pidana hakim menjatuhkan putusan untuk memulihkan kerugian korban, maka dalam hal ini hakim dapat memutus kepada Terdakwa untuk mengganti kerugian, melaksanakan suatu perbuatan dan/atau tidak melaksanakan suatu perbuatan kepada korban.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *