Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia pada dasarnya telah diatur dan ditetapkan Usia Dewasa bagi anak yang dianggap telah cakap untuk melakukan segala bentuk perbuatan hukum yaitu pada usia 18 (delapan belas) tahun atau telah kawin sebelumnya. Apabila seorang anak belum mencapai Usia Dewasa, segala bentuk perbuatan hukum yang bersangkutan dengan anak tersebut wajib berada dalam kekuasaan orang tua dan/atau wali yang telah ditetapkan oleh Penetapan Pengadilan berdasarkan suatu permohonan.
Mengenai kedudukan orang tua yang bertindak sebagai wali dari Anak yang belum cukup umur, pada dasarnya berlaku otomatis sebagaimana diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berikut dengan perubahannya dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 (“UU Perkawinan”), yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut :
Pasal 47 Ayat 1
“anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya”.
Pasal 47 Ayat 2
“orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan”.
Apabila salah satu orang tua dari Anak tersebut meninggal dunia, sesuai dengan Pasal 345 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) pihak yang bertindak sebagai wali dari anak tersebut yaitu orang tua yang masih hidup, sejauh orang tua itu tidak dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua. Namun, apabila kedua orang tua dinyatakan meninggal dunia maka Pengadilan Negeri harus mengangkat seorang wali dengan syarat wali yang duangkat tersebut merupakan keluarga anak atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berlakukan baik, sebagaimana diatur dalam Pasal 359 KUHPer j.o Pasal 51 UU Perkawinan j.o Pasal 107 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).
Sebagai seorang wali, peraturan perundang-undangan di Indonesia telah mengatur mengenai tindakan apa saja yang wajib dilakukan oleh wali yaitu diantaranya mengurus anak yang dibawah penguasaannya, termasuk harta benda yang dimilikinya dengan sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan anak yang bersangkutan.
Berkaitan dengan kewajiban untuk turut mengurus harta benda dari anak wali, Pasal 51 UU Perkawinan mengatur bahwa Wali tersebut wajib membuat daftar harta benda milik anak wali termasuk mencatat semua perubahan harta benda serta bertanggungjawab terhadap setiap kerugian yang timbul atas harta benda tersebut.
Perwalian oleh Orangtua Kandung dalam Perbuatan Hukum yang Berkaitan dengan Aset
Meskipun pada dasarnya orangtua kandung telah bertindak sebagai wali secara otomatis tanpa harus adanya penetapan dari pengadilan negeri ataupun pengadilan agama, akan tetapi dalam praktiknya Instansi-Instansi yang berkaitan tetap mensyaratkan bukti tertulis (lex scripta) atas suatu alas hak atau hubungan hukum antara anak dengan orang tua yang bersangkutan. Sehingga, dalam hal ini perwalian oleh orangtua kandung sekalipun tetap memerlukan penetapan perwalian dari pengadilan negeri ataupun pengadilan agama yang berwenang, meskipun hal tersebut tidak diatur secara tegas dan tertulis dalam peraturan perundang-undangan mengenai perwalian di Indonesia.
Berdasarkan salah satu riset akademik yang berjudul “Penetapan Perwalian Anak yang Diminta PPAT Sebagai Syarat Pembuatan Akta Jual Beli Hak Atas Tanah”, penulis berpendapat dan memberikan analisis bahwa penetapan pengadilan perwalian kepada orang tua kandung yang akan melalukan transaksi jual beli Aset milik Anak meskipun perwalian telah berlaku kepadanya secara otomatis berdasarkan peraturan perundang-undangan, dijadikan syarat oleh PPAT yang bersangkutan dengan dasar pertimbangan sebagai berikut, yaitu diantaranya :
a. Untuk membuktikan secara otentik adanya perwailan yang sah yang dijamin oleh institusi yaitu Pengadilan Negeri dan/atau Pengadilan Agama; dan
b. Merupakan Syarat bagi pembuatan akta jual beli hak atas tanah yang nantinya akan didaftarkan ke Kantor Pertanahan setempat guna kelengkapan transaksi.
Sehubungan dalam perwalian wali yang bersangkutan wajib untuk turut mengurus harta benda milik Anak, dalam permohonan penetapan perwalian wali yang bersangkutan dapat sekaligus meminta permohonan penetapan persetujuan untuk menjual harta atau hak waris milik anak di bawah umur, mengingat apabila di kemudian hari anak tersebut bermaksud untuk menjual salah satu atau seluruh asetnya, pihak yang akan bertindak dalam penjualan tersebut yaitu Wali yang telah ditetapkan.
Sehingga, agar dapat memperoleh penetapan persetujuan untuk menjual aset-aset tertentu, dalam hal ini pemohon perwalian dapat mencantumkan secara tegas mengenai aset apa saja yang berhak dialihkan oleh wali dalam petitum permohonan.
Meskipun demikian, dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak ada ketentuan yang mengatur lebih lanjut mengenai sistematika permohonan perwalian. Akan tetapi, dalam praktiknya terdapat 2 (dua) jenis permohonan perwalian yang dapat diajukan, diantaranya yaitu :
1) Permohonan Perwalian dengan Permohonan Izin Mengalihkan untuk seluruh aset milik Anak Wali; dan/atau
2) Permohonan Perwalian dengan Permohonan Izin Mengalihkan untuk aset tertentu milik Anak Wali.
Atas penetapan Permohonan Perwalian yang dimaksud pada poin 2 di atas, pada umumnya Penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan tersebut dapat dipergunakan sebagai bukti otentik oleh Orang Tua Wali dalam suatu transaksi aset tertentu. Sehingga, apabila pemohon mengajukan perwalian dengan sistematika yang dimaksud pada poin2 di atas, untuk transaksi aset lainnya milik Anak Wali yang tidak tercantum dalam Penetapan Perwalian, pemohon Perwalian wajib untuk kembali melakukan Permohonan Perwalian untuk aset lainnya tersebut.